Peran agama di ruang publik selalu mengundang kontroversi. Agama seolah sulit menemukan batu pijakannya di ruang publik karena adanya perspektif, interpretasi, dan ekspektasi yang sangat beragam dari pemeluknya tentang bagaimana agama harus berperan dalam kehidupan publik. Pada ujung spektrum terdapat mazhab pemikiran yang menganjurkan sentralitas peran agama di tengah-tengah ruang publik. Pada ujung spektrum lainnya terdapat mazhab pemikiran sebaliknya yang menghendaki sublimasi agama ke wilayah privat.
Terlepas dari polemik di atas, pertanyaan yang layak dikemukakan adalah seberapa jauh agama bisa dan diperbolehkan memainkan perannya di ruang publik? Pertanyaan ini penting dalam rangka mencegah terjadinya penyalahgunaan (baca: politisasi) bahasa-bahasa agama untuk kepentingan politik jangka pendek. Fakta empiris mengajarkan, logika kepentingan sering kali justru lebih dominan ketimbang logika ketulusan di balik penghadiran agama dalam ruang publik. Akibatnya, penghadiran agama dalam ruang publik sering kali memicu ketegangan-ketegangan, skisme politik dan konflik horizontal yang diakibatkan oleh gesekan kepentingan, baik intra maupun antarpemeluk agama yang berbeda. Kondisi semacam ini tentu saja kontraproduktif dengan etos kehidupan publik yang bertumpu pada prinsip tata-kelola yang baik (good governance).
Akar masalah disensus antara agama dan prinsip tata-kelola yang baik sebenarnya berawal dari modus keberagamaan yang cenderung replikatif-karikatif. Modus keberagamaan semacam ini hanya mereproduksi model-model kesalihan masa lalu yang abai terhadap moralitas publik kekinian. Personifikasi kesalihan hanya bekerja pada tataran simbolik yang tidak menyahuti kebutuhan publik. Pada derajat ini, kehadiran agama dalam ruang publik menjadi anakronistik dan agama semakin tidak menemukan titik pijakan yang kokoh di tengah konfigurasi ruang publik yang semakin kompleks.
Padahal, agama dituntut untuk tetap keep updated dengan etos kehidupan publik yang terus berubah jika agama ingin tetap mempertahankan relevansinya di ranah publik. Diperlukan kerendahhatian di kalangan pemeluk agama untuk mengakui dan menemukan loopholes yang menjadi titik lemah bagi disensus di antara keduanya, untuk kemudian merumuskan sebuah sistem teologi tata-kelola yang menopang keberlangsungan etos peradaban publik. Modus keberagamaan harus dibangun dari paralelitas antara kesalihan soliter dan kesalihan publik—bukan sekadar kesalihan sosial! Dalam perspektif ini, kesalihan publik merupakan continuum dari kesalihan soliter. Sebaliknya, kesalihan soliter merupakan sine qua non bagi kesalihan publik.
Memang betul bahwa demokrasi meruangkan peran agama secara lebih leluasa. Namun, di sisi lain, demokrasi pulalah yang menyensor hal-hal apa dari agama yang boleh berperan di ruang publik. Dalam diskursus demokrasi dan ruang publik, paradigma Rawlsian mengandaikan tereduksinya peran agama dalam ruang publik sebatas nilai-nilai yang koinsiden dengan rasionalitas publik (John Rawls, 1993). Selebihnya, agama harus mampu mengendalikan diri untuk tidak terlalu jauh mengintervensi kehidupan publik. Dari koinsidensi inilah agama dituntut mampu bersenyawa dengan fitur-fitur demokrasi yang bersifat embedded seperti good governance, hak asasi manusia, ketertiban sipil, dan ketaatan hukum.
Ritual berbasis merit
Gagasan ”ritual berbasis merit” bukanlah konstatasi kosong yang dipaksakan, tetapi sebuah keniscayaan agar agama tetap memiliki relevansi dengan tuntutan kekinian. Menurut hemat saya, ritual haruslah fungsional bagi perbaikan moralitas privat-soliter maupun publik. Pelaksanaan ritual bukan lagi sekadar ”ritual untuk ritual” atau ”ritual untuk Tuhan”, tetapi ”ritual untuk kebajikan manusia dan alam semesta”.
Oleh karena itu, pemaknaan-pemaknaan ”tebal” yang lebih segar dan relevan atas ritual harus menjadi kebutuhan manusia beragama, terutama agar agama mampu memberikan merit atau kemaslahatan bagi pemeluknya, yang kemudian memancarkan aura transformatif bagi terbentuknya tatanan kehidupan publik yang beradab. Pemaknaan atas puasa, misalnya, perlu ”dipertebal” ke arah pembangunan etos kehidupan publik yang semakin antropomorfis dan beradab.
Jika selama ini pendulum tafsir atas ritual puasa atau zakat lebih banyak diarahkan pada peningkatan ketaatan terhadap Tuhan dan tumbuhnya empati sosial, sudah saatnya pendulum tafsir atas kedua ritual tersebut digerakkan untuk melahirkan moralitas publik yang lebih terstruktur. Nilai-nilai yang terkandung di balik kedua ibadah tersebut perlu ditarik benang merahnya dalam rangka membangun sebuah sistem kehidupan publik seperti kedisiplinan, ketaatan terhadap peraturan dan keteraturan, kejujuran, dan sportivitas.
Sejujurnya, narasi kitab suci tentang teologi tata-kelola dalam kehidupan publik belum tergali secara maksimal. Padahal, narasi semacam inilah yang sangat relevan dengan kebutuhan bangsa kita. Memang ada kecenderungan pergerakan pendulum tafsir yang lebih kontekstual dengan munculnya wacana ibadah individual versus ibadah sosial, atau ibadah vertikal versus ibadah horizontal, tetapi pendulum tafsir belum mengelaborasi ibadah privat-soliter versus ibadah publik. Istilah ”publik” perlu dibedakan dari istilah ”sosial” sebagai nomenklatur tersendiri yang berada di atas nomenklatur ”sosial”. Jika nomenklatur ”sosial” lebih merujuk pada munculnya sikap-sikap empatik-humanis kepada sesama manusia, nomenklatur ”publik” lebih menekankan pentingnya sistem tata kelola kehidupan bersama yang baik, tertib, dan beradab. Narasi ”tebal” semacam inilah yang absen dari blantika tafsir keagamaan di Indonesia.
Namun, jangan salah, konstruksi teologi tata-kelola di sini tidak identik dengan sistem pemerintahan teokrasi yang menempatkan agama sebagai urat nadi kehidupan publik melalui replikasi-replikasi kesalihan simbolik. Teologi tata-kelola, di sisi lain, bekerja pada tataran nilai melalui penyerapan saripati (substance) agama ke dalam jejaring rasionalitas publik (Masdar Hilmy, Islam Profetik, 2008).
Teologi tata-kelola di sini merujuk pada persenyawaan antara nilai-nilai keagamaan dan prinsip-prinsip tata-kelola modern seperti penegakan hukum, imparsialitas keadilan, impersonalitas kekuasaan, kesetiaan terhadap ”cetak biru” bersama, asas kewarga(negara)an yang setara, serta pemerintahan berbasis akuntabilitas dan aksesibilitas publik. Al Quran, misalnya, memang tidak pernah membahas secara eksplisit prinsip-prinsip tata-kelola tersebut. Tetapi, dalam perspektif konstruktivisme, ia banyak menyediakan ayat-ayat yang bisa dijadikan inspirasi bagi terumuskannya teologi tata-kelola yang baik.
Teologi tata-kelola yang baik berawal dari kebiasaan publik, dan kebiasaan publik lahir dari kesadaran individu akan pentingnya tatanan hidup bersama yang baik. Meminjam kerangka teoretik Robert N Bellah, dkk. (1985), kebiasaan publik tidak akan lahir tanpa habits of the heart, yakni kebiasaan hati nurani dari setiap warga Negara untuk hidup lebih beradab.
Pada saatnya nanti, habitus individu semacam ini akan mengerucut menjadi habitus bersama yang terefleksi dalam sebuah sistem kehidupan publik yang beradab, tertib, dan menghargai kehidupan. Semoga.
Masdar Hilmy Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya