Stok Beras NTT Hanya Cukup 4 Bulan Karena Kekeringan


Kepala Bidang Ketersediaan dan Kerawananan Pangan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Nusa Tenggara Timur, Silvia Peku Djawang, mengatakan kekeringan di NTT menyebabkan stok beras menipis. “Ketahanan beras hanya bisa memenuhi kebutuhan empat bulan,” kata Silvia kepada Tempo, Selasa, 2 September 2014.

Menurut Silvia, stok beras di NTT saat ini sebanyak 205.520 ton. Jika dilihat dari kebutuhan masyarakat sebanyak 46.709 ton per bulan, maka pasokan itu hanya bisa bertahan hingga 4,4 bulan.

Sedangkan bahan pangan lainnya seperti jagung, stoknya 104.419 ton dengan kebutuhan sebulan 8.222 ton. Maka komoditi ini mampu memenuhi kebutuhan selama 12,7 bulan.

Adapun stok umbi-umbian mencapai 37.784 ton dengan kebutuhan 8.214 ton per bulan. Dengan itu,pasokan umbi-umbian hanya cukup untuk kurang dari 5 bulan. Sementara stok kedelai 570 ton dengan kebutuhan 713 ton per bulan. Pasokan tersebut hanya bertahan 0,8 bulan.

Silvia mengatakan jika masalah ketahanan pangan ini tidak segera teratasi, maka pada puncak kemarau pada Desember dan Januari 2015, NTT akan mengalami kerawanan pangan. Jika hal itu terjadi, maka NTT akan memanfaatkan cadangan pangan untuk intervensi rawan pangan sebanyak 80,36 ton.Stok Beras NTT Hanya Cukup 4 Bulan

Empat Kecamatan di Subang Krisis Air Karena Kemarau Panjang


Musim kemarau yang kini terjadi di Subang, Jawa Barat, menyebabkan ribuan hektare area persawahan rusak akibat kekeringan, terutama di wilayah pantai utara. Tak hanya itu, kemarau juga membuat sejumlah daerah di Subang mengalami krisis air.

“Akibat kemarau, empat kecamatan di Subang mengalami krisis air,” kata Kepala Bidang Sumber Daya Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, Hendrawan, kepada Tempo di kantornya, Senin, 25 Agustus 2014. Keempat kecamatan itu adalah Pusakajaya, Pusakanagara, Legon Kulon, dan Pamanukan. Akibat krisis air, 28 ribu hektare tanaman padi usia 10 hari di Kecamatan Pusakajaya kini kering.

Menurut Hendrawan, instansinya sudah melakukan berbagai antisipasi dini bersama para petani agar kekeringan yang mengancam area persawahan pada musim tanam gadu bisa teratasi. “Caranya, menyalurkan dengan pompa air dan pengerukan saluran irigasi yang airnya bersumber dari saluran Induk Tarum Timur Waduk Jatiluhur,” kata Hendrawan.

Carta, petani Desa Kalentambo, khawatir debit pasokan air dari Tarum Timur berkurang saat kemarau. Karena itu, dia meminta Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, Purwakarta, tetap menggelontorkan pasokan air irigasi ke empat kecamatan di Pantura. “Sekarang sawah kami mulai kekeringan,” ujarnya.

Direktur Pengelolaan Sumber Daya Air PJT II Jatiluhur Harry M. Sungguh menjamin pasokan air ke saluran Induk Tarum Timur, Utara, dan Barat tetap aman hingga akhir 2014. Saat ini tinggi muka air Waduk Jatiluhur masih pada kisaran 102,74 meter. “Kondisi tersebut masih sesuai dengan pola, ini sangat aman,” katanya.

Daftar Desa Yang Terkena Krisis Air Minum


Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum Danny Sutjiono mengatakan sedikitnya 1.235 desa di wilayah Indonesia berstatus rawan air minum. Menurut dia, secara umum lokasi rawan air disebabkan tidak terdapat sumber air baku.

“Kalaupun ada, secara kuantitas tidak dapat memenuhi tingkat kebutuhan air minum masyarakat. Letaknya sulit dijangkau atau kualitasnya tidak memenuhi kriteria baku mutu untuk air minum,” kata Danny melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Februari 2014.

Danny mengatakan jumlah desa kering dalam kawasan rawan air tersebut berdasarkan data kekeringan desa yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2013. Untuk mengatasi persoalan tersebut, Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian PU telah membagi desa kering di kawasan rawan air tersebut ke dalam tiga prioritas penanganan. Sebanyak 326 desa kering di kawasan rawan air masuk dalam penanganan prioritas pertama. Adapun prioritas kedua sebanyak 773 desa, dan prioritas penanganan ketiga sebanyak 136 desa.

Saat ini Direktorat Jenderal Cipta Karya sedang menangani sebanyak 32 desa kering di kawasan rawan air yang masuk dalam prioritas penanganan pertama yang tersebar di 21 kabupaten. Penanganan juga dilakukan terhadap 56 desa yang masuk dalam prioritas dua dan 16 desa yang masuk dalam prioritas ketiga.

Beberapa program yang dilakukan di antaranya program pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), SPAM di ibu kota Kecamatan (IKK), SPAM Regional, Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas), dan pembangunan Embung Penampung Air Hujan.

Sedangkan untuk program penanganan kesulitan air minum bagi masyarakat di desa kering di kawasan rawan air pada tahun anggaran 2014, Direktorat Jenderal Cipta Karya telah menetapkan 40 desa yang masuk dalam prioritas pertama penanganan di 24 kabupaten.

Berdasarkan data desa kekeringan yang dikeluarkan BPS, selain terdapat 1.235 desa kering di kawasan rawan air, juga ada 15.775 desa rawan air yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Total sebanyak 17.010 desa masuk ke dalam prioritas penanganan pelayanan air minum yang aman dan terlindungi.

PDAM Hanya Mampu Layani 61,83 Persen Penduduk Indonesia


Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum mencatat, hingga akhir 2013, cakupan pelayanan air minum mencapai 61,83 persen. Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum Danny Sutjiono mengatakan mengatasi kekeringan dan membantu masyarakat di kawasan rawan air tidaklah mudah.

“Selain memerlukan dana besar, juga sangat tergantung ada atau tidaknya sumber air baku. Semakin sulit sumber air baku dijangkau, semakin besar biaya untuk membangun instalasi pengolahan air minum, jaringan (perpipaan) distribusi primer, sekunder, dan sambungan rumah (SR),” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Februari 2014.

Danny mengatakan Presiden telah memberikan arahan dan instruksi kepada jajaran Kementerian PU untuk mengatasi krisis air di desa rawan air serta daerah tandus dan sulit air. “Paling lambat pada 2025 cakupan pelayanan air minum di Indonesia mencapai 100 persen dan tidak ada lagi krisis air,” katanya.

Danny menuturkan saat ini Direktorat Jenderal Cipta Karya sedang menangani 32 desa kering di kawasan rawan air yang yang masuk dalam prioritas penanganan pertama yang tersebar di 21 kabupaten. Penanganan juga dilakukan di 56 desa yang masuk dalam prioritas dua dan 16 desa di prioritas tiga desa kering rawan air.

Beberapa program yang dilakukan di antaranya pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), di ibu kota kecamatan (IKK), dan regional serta penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas) dan pembangunan embung penampung air hujan.

“Sedangkan program penanganan untuk mengatasi kesulitan air minum bagi masyarakat di desa kering di kawasan rawan air pada tahun anggaran 2014 ini, kami telah menetapkan 40 desa yang masuk dalam prioritas pertama penanganan yang tersebar di 24 kabupaten di seluruh Indonesia,” katanya. (Berita lain : Ribuan Desa Rawan Air Minum)

Berdasarkan data desa kekeringan yang dikeluarkan BPS, selain terdapat 1.235 desa kering di kawasan rawan air, ada 15.775 desa rawan air yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Total, ada 17.010 desa yang masuk dalam prioritas penanganan pelayanan air minum yang aman dan terlindungi.

Peneliti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Bosman Batubara mengatakan hanya 3,3 persen penduduk Jawa Timur yang bisa mengakses air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). “Dari 38 kabupaten atau kota di Jatim, hanya 15 PDAM yang sehat,” kata Bosman di Banyuwangi, Kamis, 23 Januari 2014. Sebanyak 15 PDAM berstatus “sakit” dan tujuh lainnya “kurang sehat”.

Berdasarkan data Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia (Perpamsi) pada 2010, kata Bosman, 16 PDAM yang “sakit” terdiri atas tiga PDAM kota dan 13 PDAM kabupaten. Antara lain: PDAM Kota Mojokerto, Blitar, dan Ponorogo serta PDAM Kabupaten Kediri, Tulungagung, Pamekasan, Nganjuk, Lumajang, Bangkalan, Trenggalek, Sumenep, Lamongan, Pasuruan, Blitar, dan Ngawi. Sementara PDAM yang “kurang sehat” berada di Kabupaten Batu, Jombang, Bondowoso, Tuban, Sampang, Pacitan, dan Madiun.

Sedangkan PDAM “sehat” berada di Kota Surabaya, Malang, Madiun, Probolinggo, Kediri, dan Pasuruan serta Kabupaten Probolinggo, Jember, Gresik, Sidoarjo, Banyuwangi, Situbondo, Magetan, Malang, dan Mojokerto.

Bosman menjelaskan, PDAM “sakit” ataupun “kurang sehat” lantaran ada persoalan manajemen dan teknis. Persoalan manajemen, misalnya, mencakup sumber daya manusia yang rendah, rekrutmen direksi yang tidak akuntabel, tidak adanya tenaga kerja yang berkualifikasi baik, serta rendahnya penguasaan teknologi. Persoalan teknis antara lain sumber air baku yang terbatas, erosi di daerah hulu, dan jaringan yang sudah tua.

Berbagai persoalan yang mendera tubuh PDAM itu, kata Bosman, menyebabkan PDAM tidak bisa memperluas jaringan air bersih untuk masyarakat. “Sehingga banyak warga yang mengandalkan air sungai dan sumur.”

Untuk mengatasi persoalan itu, kata Bosman, seharusnya penguasaan air minum berbentuk koperasi. Dengan bentuk koperasi, maka manajemen bertanggung jawab kepada anggota atau pelanggan air minum. “Kalau berbentuk perusahaan daerah, manajemen bertanggung jawab pada kepala daerah.”

Anomali Cuaca Besar Besar : Kepri Riau Dilanda Kekeringan Panjang


Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat anomali cuaca secara besar-besar terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). “Dalam catatan kami, bulan kering yang terjadi di Batam, Bintan, Tanjungpinang dan Karimun yang terjadi sejak 45 hari yang lalu merupakan terlama. Ini adalah anomali cuaca besar-besaran, yang selama ini belum pernah terjadi,” kata Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Tanjungpinang, Hartanto, Minggu.

Perkiraan BMKG Tanjungpinang terkait terjadinya hujan di Kepulauan Riau (Kepri) dua kali meleset. Pertama, BMKG memprakirakan hujan terjadi di atas tanggal 20 Februari 2014. Kemudian prakiraan yang kedua, hujan akan mengguyur Batam, Bintan, Karimun dan Tanjungpinang pada awal Maret. Hujan terjadi bersamaan dengaan perubahan arah angin dari utara ke barat daya.

“Sampai sekarang ternyata belum terjadi perubahan arah angin. Sekarang masih musin angin utara,” ungkapnya. Hal itu menyebabkan konsidi udara menurun dan menghambat pertumbuhan awan. Pada permukaan air laut juga masih dingin sehingga awan sulit terbentuk. “Butuh waktu berminggu-minggu agar terjadi perubahan, sehingga awan terbentuk,” ucapnya.

Bulan kering yang terjadi di Kepri, diprakirakan justru terjadi dalam waktu yang lama. Hal itu disebabkan faktor dari luar yaitu subsidensi yang meluas dari sekitar lintang menengah sampai ke khatulistiwa.

“Kepri terkena dampak terbesarnya, dibanding wilayah lainnya,” ujarnya.

Ia mengemukakan, Tanjungpinang dan Bintan kemarin sempat terjadi mendung dan gerimis sebentar, namun tiba-tiba hilang. Hal itu disebabkan awan-awan yang membentuk hujan terbawa oleh angin. “Peluang hujan di Tanjungpinang, Bintan, Karimun dan Batam pada saat ini sangat tipis,” katanya.

Saat ini, hampir seluruh air di sumur warga Kota Tanjungpinang mengalami kekeringan. Warga terpaksa membeli air. “Kami berharap ada solusi yang diberikan pemerintah. Bahaya kalau kondisi ini terus dibiarkan,” kata Melda, ibu rumah tangga yang tinggal di KM 8 Tanjungpinang.

Sementara itu, Ketua Komunitas Bakti Bangsa Provinsi Kepulauan Riau Eva Fransiska mengemukakan, bantuan berupa air gratis yang diberikan oleh berbagai organisasi, PDAM Tirta Kepri dan caleg sangat terbatas dan dalam waktu tertentu. Mereka tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

“Ini saatnya pemerintah turun tangan, bergerak cepat untuk membantu masyarakat yang saat ini kesulitan mendapatkan air bersih. Salah satunya menciptakan hujan buatan,” katanya. Selain itu, PDAM Tirta Kepri juga sudah selayaknya menambah pelanggan secara merata di Tanjungpinang, karena sumber air bersih tidak hanya di Sei Pulai, melainkan juga Waduk Sei Gesek.

“Kalau hari ini seluruh rumah warga sudah tersambung jaringan pipa PDAM Tirta Kepri, tidak akan terjadi hal seperti ini. Sampai sekarang, PDAM Tirta Kepri hanya mampu melayani sebagian masyarakat Tanjungpinang,” ungkapnya.

Kekeringan Mulai Mengancam Pertumbuhan Sektor Riil


Peneliti Center for Information and Development Studies (CIDES) Rudi Wahyono menyatakan kekeringan dan perubahan iklim mengancam perkembangan sektor riil yang menjadi tantangan selanjutnya bagi Indonesia selain dampak krisis global yang kini mulai terasa.

“Ini keadaan yang kita hadapi bersama-sama, bukan hanya satu dua daerah,” kata Rudi Wahyono dalam diskusi tentang dampak krisis global di Jakarta, Selasa.

Rudi mengatakan selain tekanan perubahan iklim, fenomena meluasnya gagal panen serta kekeringan jangka panjang juga menjadi salah satu pemicu sulitnya perkembangan sektor riil.

Kemungkinan hadirnya siklus tujuh tahunan ENSO (El Nino Southern Oscillation), lanjutnya, yang menimbulkan kekeringan di Asia, Amerika dan kawasan sekitar lautan Pasifik yang terjadi beberapa tahun mendatang juga jadi tantangan yang ada.

Padahal, Indonesia dinilai masih bergantung pada impor bahan pangan dari negara-negara tersebut.

Meski jadi tantangan di masa depan setelah dampak krisis global, Rudi mengatakan Indonesia saat ini harus tetap waspada karena dampak krisis terus terasa terutama pada penurunan ekspor.

“Dampak krisis dunia sudah mulai terasa seperti penurunan ekspor di bidang pertambangan, hasil pertanian bahkan bidang produksi,” katanya.

Tak seimbang

Sementara itu anggota Komisi XI DPR Arief Budimanta menilai penurunan ekspor dan tingginya impor Indonesia tak seimbang.

Dia berpendapat kebanyakan komoditas ekspor adalah material mentah yang tidak menghasilkan.

“Ekspor Indonesia separuhnya didominasi produk raw material yang saat ini harganya anjlok seperti CPO, karet, dan kakao,” katanya.

Akan tetapi, negara justru tetap mengimpor produk lain, termasuk pangan, yang harganya terus meningkat.

Keterpurukan ekspor akibat meningkatnya harga bahan baku produksi yang komponen impornya masih tinggi, menurut Arief, juga menjadi tantangan jangka panjang lain yang akan dihadapi.

24 Ribu Penduduk Bekasi Terancam Krisis Air


Kepala Seksi Pencegahan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bekasi, Agus Suparno, mengatakan krisis air telah melanda 11 kecamatan di Bekasi. Krisis air ini mengancam 24 ribu penduduk yang berdiam di 11 kecamatan tersebut.

Kecamatan yang kesulitan memperoleh air adalah Tarumajaya, Babalean, Cikarang Timur, Cibarusah, Bojong Mangu, Cikarang Pusat, dan Muaragebong, Cikarang Selatan, Serang Baru, Cabang Bungin, dan Karangbahagia.

Menurut Agus, dari jumlah ini sekitar 18 desa mengalami krisis paling parah. “Krisis air yang paling memprihatinkan adalah Kecamatan Cibarusah dan Babelan,” kata Agus kepada Tempo, Selasa, 4 September 2012.

Desa yang paling paceklik air di Cibarusah meliputi Ridogalih, Sirnajati, dan Ridomanah. Adapun di Babelan baru, paceklik air terjadi di Desa Buni Bakti. ”Bantuan air bersih prioritas ke empat desa tersebut,” katanya.

Meskipun kesulitan air, kata Agus, kekeringan ini belum berdampak signifikan kepada sektor pertanian karena warga baru saja panen raya.

Untuk mengatasi krisis air bersih saat musim kering di masa mendatang, kata Agus, Badan Penanggulangan Bencana Daerah akan membuat sumur resapan, bak penampungan air di kawasan pemukiman, dan memberikan bantuan air bersih secara langsung. “Itu beberapa solusi yang kami pikirkan,” katanya.

Pulau Jawa Krisis Air Ditengah Sumber Daya Air Indonesia Yang Masuk Lima Besar Dunia


Indonesia memiliki sumber daya air terbesar kelima di dunia. Namun, menurut Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, ketersediaan air di Pulau Jawa dalam kondisi kritis. Bahkan sudah terjadi impor air secara tak langsung.

Potensi cadangan sumber daya air Indonesia sekitar 3.900 miliar meter kubik per tahun. Potensi itu berada di 5.886 aliran sungai dan 521 danau. “Jumlah potensi air yang dapat dimanfaatkan sekitar 690 miliar liter per tahun,” ujarnya saat orasi ilmiah di Aula Barat ITB, Selasa, 3 Juli 2012.

Sebanyak 82 persen air permukaan secara nasional berada di Pulau Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Sedangkan Pulau Jawa cuma punya 4 persen atau 124 ribu liter per detik. Jumlah itu tak sebanding dengan total penduduk Jawa dan Madura sebanyak 138 juta jiwa berdasarkan Sensus Penduduk 2011. Populasi itu separuh lebih dari total jumlah penduduk Indonesia, atau 58 persen. “Ketersediaan air tahunan di Pulau Jawa untuk penduduk dan industri serta irigasi tidak tercukupi,” ujarnya.

Setiap penduduk Pulau Jawa hanya mendapat sekitar 1.210 liter air per tahun. Dengan konsep water footprint, yaitu konversi kebutuhan atau produksi pangan dan barang, Pulau Jawa secara tak langsung telah mengimpor air, yaitu dengan masuknya beras impor. “Dari hasil perhitungan indeks pemakaian air di seluruh Indonesia, Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT telah mencapai kondisi yang mengkhawatirkan,” ujarnya.

Djoko tak menjelaskan spesifik langkah pemerintah untuk mengatasi masalah air tersebut. Ia mengajak kalangan akademisi untuk membantu memikirkan dan bertindak. Salah satunya menyiapkan banyak insinyur teknik hidrologi. “Di fakultas teknik sudah sedikit yang mau belajar teknik hidro, padahal air itu tantangan masalah ke depan,” ujar alumnus dari UGM tersebut.

Warga Desa Enoraen Kupang Harus Berjalan 8 Kilometer Untuk Mendapatkan Air Bersih


Sekitar 202 keluarga di Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai kesulitan mendapatkan air bersih akibat kemarau yang melanda daerah itu. Mereka harus berjalan delapan kilometer (km) untuk mendapatkan air bersih.

Kepala Desa Enoraen Fransiskus Ton mengatakan krisis air bersih ini terjadi di dua dusun di desa itu yakni Dusun Bikoen sebanyak 134 keluarga dan Fatuaf 66 keluarga. “Warga mengambil air ke mata air di Dusun Oemoro menggunakan jerigen,” katanya, Jumat, 6 Juli 2012.

Sumber air bersih milik warga di dua dusun itu, menurut dia, sudah mulai mengering, sehingga tidak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan minum dan mencuci. “Sumur-sumur milik warga sudah mulai mengering,” katanya.

Dia mengatakan, air bersih dari Dusun Oemoro sulit dialirkan ke dua dusun tersebut, karena lokasinya berada ketinggian sekitar 70 meter. “Air sulit dialirkan ke atas, sehingga warga harus berjalan kaki untuk mengambil air bersih itu,” katanya.

Pemerintah, menurut dia, sudah berupaya untuk mengalirkan air ke dua dusun tersebut menggunakan pompa dan pipa dari dataran rendah ke dataran tinggi, namun gagal. Akibatnya, setiap memasuki kemarau, dua dusun itu selalu mengalami krisis air bersih. “Masyarakat mulai mengeluhkan kesulitan air bersih itu. Padahal, kami sudah usulkan untuk mengatasi masalah itu, namun belum terealisasi,” katanya.

Kepala Bagian Humas Setda Kabupaten Kupang, Stef Baha mengatakan pemerintah telah membangun sedikitnya empat embung-embung di Kecamatan Amarasi Timur untuk mengatasi krisis air bersih di daerah itu. “Embung-embung sementara dalam proses penyelesaian. Dua tahun kedepan diharapkan daerah itu tidak alami krisis air bersih,” katanya.

Perambahan Hutan Gunung Muria Kudus Sebabkan 25 Mata Air Hilang


Akibat terjadinya penggundulan hutan di Gunung Muria, sekitar 25 sumber mata air yang mengalir ke daerah Kudus mengering. Pada musim kemarau saat ini, debit air rata-rata berkurang hingga 50 persen.

“Kurangnya air sehingga mempengaruhi kawasan bawah,” kata Garno Sunarno, Ketua Paguyuban Hutan Gunung Muria, Kamis, 30 Agustus 2012.

Tanda berkurangnya sumber air, misalnya, dapat terlihat dari minimnya debit air terjun Monthel dan mengeringnya sumber air Buton. Di kawasan Gunung Muria, terdapat 63 ribu hektare hutan, 43 ribu hektare di antaranya kondisinya kritis.

Mengeringnya sumber air di gunung itu juga dipercepat adanya eksplorasi penjualan air gunung oleh sejumlah warga. Sedikitnya ada enam warga Desa Kajar yang saat ini melakukan usaha air dari gunung untuk kepentingan bisnis.

Usaha itu sudah dilakukan sejak 10 tahun terakhir tanpa dikenai restribusi oleh pemerintah Kudus. Mereka mengalirkan air dari mata air di Gunung Muria, kemudian ditampung dan dijual. Setiap hari, sekitar 35 truk tangki yang berisi 5.000 liter menggantungkan air dari Gunung Muria. Sepanjang hari setidaknya tujuh kali bolak-balik. Jika ditotal berkisar 1,225 juta liter per harinya.

“Pemerintah harus bertindak tegas karena kegiatan itu tergolong eksploitasi air,” kata Edi Jupriyanto, tokoh warga Desa Kajar.

Menurut dia, jika dibiarkan, akan merusak alam, terutama Gunung Muria. Sedangkan mereka sendiri belum pernah memberikan kontribusi seperti menanam pohon sebagai penghijauan.

“Ini perlu ditertibkan dengan aturan,” kata Khoirul Falah, Kepala Desa Colo, Kecamatan Dawe.

Menurut Khoirul Falah, debit air beberapa tahun lalu sekitar 7,5 liter per detik. Air pegunungan Muria kebanyakan untuk menyuplai 170 unit depot air minum di daerah Kudus, Pati, Jepara, dan kota lain.

Akibat mengeringnya sumber mata air itu, Waduk Seloromo di Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, ikut mengering. Waduk yang berkapasitas 9,5 juta meter kubik itu kini tinggal 500 meter kubik, hanya digunakan untuk pembasahan dinding waduk. Waduk itu mampu untuk mengairi sawah seluas 4.600 hektare di daerah Kecamatan Gembong, Pati, Juwana, dan Tlogowungu.

“Musim tanam III sudah selesai diairi,” kata M. Zubaedi, Kepala Unit Pelaksana Teknis Wilayah Kota DPU Kabupaten Pati.

Di samping itu, air embung Ngemplak di Kecamatan Undaan, Kudus, juga mengering. “Debitnya berkurang 80 persen,” kata Syafii, Kepala Desa Ngemplak.

Keberadaan embung itu sangat penting bagi cadangan irigasi untuk 400 hektare sawah di desanya. “Kami khawatir persiapan masa tanam I 2012-2013 akan terganggu karena wilayah kami akan memperoleh giliran terakhir irigasi dari Waduk Kedungombo,” kata Syafii.