Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum mencatat, hingga akhir 2013, cakupan pelayanan air minum mencapai 61,83 persen. Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum Danny Sutjiono mengatakan mengatasi kekeringan dan membantu masyarakat di kawasan rawan air tidaklah mudah.
“Selain memerlukan dana besar, juga sangat tergantung ada atau tidaknya sumber air baku. Semakin sulit sumber air baku dijangkau, semakin besar biaya untuk membangun instalasi pengolahan air minum, jaringan (perpipaan) distribusi primer, sekunder, dan sambungan rumah (SR),” katanya melalui keterangan tertulis, Kamis, 27 Februari 2014.
Danny mengatakan Presiden telah memberikan arahan dan instruksi kepada jajaran Kementerian PU untuk mengatasi krisis air di desa rawan air serta daerah tandus dan sulit air. “Paling lambat pada 2025 cakupan pelayanan air minum di Indonesia mencapai 100 persen dan tidak ada lagi krisis air,” katanya.
Danny menuturkan saat ini Direktorat Jenderal Cipta Karya sedang menangani 32 desa kering di kawasan rawan air yang yang masuk dalam prioritas penanganan pertama yang tersebar di 21 kabupaten. Penanganan juga dilakukan di 56 desa yang masuk dalam prioritas dua dan 16 desa di prioritas tiga desa kering rawan air.
Beberapa program yang dilakukan di antaranya pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), di ibu kota kecamatan (IKK), dan regional serta penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas) dan pembangunan embung penampung air hujan.
“Sedangkan program penanganan untuk mengatasi kesulitan air minum bagi masyarakat di desa kering di kawasan rawan air pada tahun anggaran 2014 ini, kami telah menetapkan 40 desa yang masuk dalam prioritas pertama penanganan yang tersebar di 24 kabupaten di seluruh Indonesia,” katanya. (Berita lain : Ribuan Desa Rawan Air Minum)
Berdasarkan data desa kekeringan yang dikeluarkan BPS, selain terdapat 1.235 desa kering di kawasan rawan air, ada 15.775 desa rawan air yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Total, ada 17.010 desa yang masuk dalam prioritas penanganan pelayanan air minum yang aman dan terlindungi.
Peneliti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Bosman Batubara mengatakan hanya 3,3 persen penduduk Jawa Timur yang bisa mengakses air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). “Dari 38 kabupaten atau kota di Jatim, hanya 15 PDAM yang sehat,” kata Bosman di Banyuwangi, Kamis, 23 Januari 2014. Sebanyak 15 PDAM berstatus “sakit” dan tujuh lainnya “kurang sehat”.
Berdasarkan data Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia (Perpamsi) pada 2010, kata Bosman, 16 PDAM yang “sakit” terdiri atas tiga PDAM kota dan 13 PDAM kabupaten. Antara lain: PDAM Kota Mojokerto, Blitar, dan Ponorogo serta PDAM Kabupaten Kediri, Tulungagung, Pamekasan, Nganjuk, Lumajang, Bangkalan, Trenggalek, Sumenep, Lamongan, Pasuruan, Blitar, dan Ngawi. Sementara PDAM yang “kurang sehat” berada di Kabupaten Batu, Jombang, Bondowoso, Tuban, Sampang, Pacitan, dan Madiun.
Sedangkan PDAM “sehat” berada di Kota Surabaya, Malang, Madiun, Probolinggo, Kediri, dan Pasuruan serta Kabupaten Probolinggo, Jember, Gresik, Sidoarjo, Banyuwangi, Situbondo, Magetan, Malang, dan Mojokerto.
Bosman menjelaskan, PDAM “sakit” ataupun “kurang sehat” lantaran ada persoalan manajemen dan teknis. Persoalan manajemen, misalnya, mencakup sumber daya manusia yang rendah, rekrutmen direksi yang tidak akuntabel, tidak adanya tenaga kerja yang berkualifikasi baik, serta rendahnya penguasaan teknologi. Persoalan teknis antara lain sumber air baku yang terbatas, erosi di daerah hulu, dan jaringan yang sudah tua.
Berbagai persoalan yang mendera tubuh PDAM itu, kata Bosman, menyebabkan PDAM tidak bisa memperluas jaringan air bersih untuk masyarakat. “Sehingga banyak warga yang mengandalkan air sungai dan sumur.”
Untuk mengatasi persoalan itu, kata Bosman, seharusnya penguasaan air minum berbentuk koperasi. Dengan bentuk koperasi, maka manajemen bertanggung jawab kepada anggota atau pelanggan air minum. “Kalau berbentuk perusahaan daerah, manajemen bertanggung jawab pada kepala daerah.”