Nama Wati, seorang ibu warga Depok, belakangan viral menjadi perbincangan di media sosial. Pasalnya, dirinya sempat menuduh tetangganya hidup dari pesugihan babi ngepet lantaran tak pernah terlihat bekerja.
“Dari kemarin saya sudah pantau, Pak, orang ini. Ini dia berumah tangga dia nganggur tapi uangnya banyak. Saya sudah lewat rumahnya, udah saya lemparin sesuatu di depan rumah biar ketahuan,” tutur bu Wati dalam potongan video viral.
Menghadapi nyinyiran tetangga yang tak benar adanya tentu kerap mengganggu. Bagaimana sih cara mengatasinya dengan bijak?
Menurut psikolog klinis Nuzulia Rahma Tristinarum, ‘korban’ sebaiknya tetap tenang meski kerap dituduh yang tidak-tidak. Sebisa mungkin menghindari serangan balik dengan melakukan tindakan serupa. Hal ini menurut Rahma, bisa berbuntut panjang. Terlebih jika berlanjut ke jalur hukum, ada risiko saat melaporkan ke pihak yang berwajib, ‘korban’ bisa kembali dituntut lantaran melakukan hal serupa.
“Lebih baik, kumpulkan bukti dan lapor pada pihak-pihak yang dapat membantu misalnya ketua RT atau kantor polisi,” kata Rahma. “Jika posisi kita hanya mendengar atau melihat, sebaiknya tidak gegabah memberikan judgement. Kumpulkan data dan fakta berita tersebut agar dapat disikapi dengan tepat,” pesannya.
Viral cerita penangkapan babi ngepet di Depok yang belakangan dipastikan polisi cuma hoax. Rupanya, sang ustaz yang mengarang cerita tersebut membeli babi di toko online agar dirinya bisa terkenal usai mengaku-ngaku berhasil menangkap babi ngepet. Tak sedikit warga yang langsung percaya fenomena babi ngepet meskipun kerap dipastikan hal semacam ini tidak mungkin terjadi. Psikolog klinis Nuzulia Rahma Tristinarum dari Pro Help Center menyebut ada beberapa kemungkinan penyebab di balik kepercayaan fenomena babi ngepet.
Pertama, cara berpikir seseorang. Menurut Rahma, cara berpikir logis setiap orang tentu berbeda, ada sebagian orang tidak mampu berpikir kritis, tanpa ingin mencari tahu informasi lebih lanjut. Dan hanya mau mempercayai orang yang secara fisik dekat dengan mereka (tetangga). Pada akhirnya, orang tersebut hanya ‘menelan’ mentah-mentah dan ikut termakan informasi hoax.
Ada juga kepercayaan keluarga atau lingkungan yang ditanamkan sehingga menginternalisasi sebagai keyakinan sehingga berprinsip siapa lagi yang akan menolong bila bukan tetangga. Padahal dalam banyak hal tetangga adalah sumber berita bohong
Alasan lainnya, disebut Rahma sama seperti motif sang ustaz yang membuat hoax penangkapan babi ngepet di Depok. Disebutnya, bentuk perilaku mencari perhatian atau mencari keuntungan tertentu juga bisa menjadi dasar pertimbangan kepercayaan mereka yang bertentangan dengan ilmu agama.
Selain itu, lingkungan bergaul dan wawasan seseorang berpengaruh besar sebagai faktor persepsi mereka terkait fenomena babi ngepet. Diberitakan sebelumnya, kronologi hoax cerita penangkapan babi ngepet sudah direncanakan para pelaku juha-jauh hari.
“Tersangka ini bekerja sama dengan kurang-lebih delapan orang, mengarang cerita tersebut, seolah-olah babi ngepet itu benar. Ternyata itu rekayasa tersangka dan teman-temannya,” jelas Kapolresta Depok Kombes Imran Siregar.
Kepada warga, Adam Ibrahim menggambarkan babi ngepet itu berkalung dan kepalanya diikat tali merah. “Tersangka merekayasa dengan memesan secara online seekor babi dari pencinta binatang,” lanjutnya.