Pondok Pesantren Salafiyah Al-Bajigur di Desa Tenonan, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, tidak berbeda dengan kebanyakan pondok pesantren di Pulau Madura. Yang terlihat tak lazim, di pesantren ini ada pondok Al-Majnun atau pondok khusus orang gila. Menurut pengurus pesantren, K.H. Abdurrahman, Al-Bajigur berdiri pada 23 Desember 1995. “Awalnya cuma tiga orang santri,” katanya beberapa waktu lalu. Kini santri Al-Bajigur mencapai sekitar 700 orang, baik putra maupun putri.
Untuk pondok Al-Majnun sendiri, berdiri tiga tahun kemudian atau pada 1998. Waktu itu ada warga yang datang padanya meminta bantuan agar keluarganya yang stres disembuhkan, kata Abdurrahman. “Alhamdulilah, sembuh setelah saya obati. Sejak itu banyak orang stres dibawa ke sini,” katanya. Kiai yang akrab disapa Bajigur ini, mengaku lupa berapa banyak orang gila yang disembuhkan. “Ratusan orang”.
Pola pengobatan yang dilakukan untuk menyembuhkan orang stres adalah terapi kerohanian, lanjut dia. Sekali waktu, pasien sakit jiwa yang disebutnya dengan istilah Santri Luar Biasa (SLB) diberi minuman jamu tradisional. Untuk pasien berat seperti hilang ingatan, Kiai Abdurrahman, juga menggunakan media hewan untuk terapi. “Saya kadang pakai sarang laba-laba untuk meringankan pusing pasien. Hilang ingatan itu kan biasanya diawali sakit kepala,” kata Abdurrahman.
Terapi lainnya, adalah membebaskan para santri stres melakukan kegiatan seperti yang dilakukan di rumah atau sebelum dimasukkan ke pesantren, lanjut dia. “Ada yang bertani, ada juga yang ikut jadi kuli bangunan. Kadang diarahkan untuk buat kerajinan tangan,” ujarnya. Terapi ini, menurut Abdurrahman, penting karena bertujuan agar mereka bisa kembali ke kehidupan normal. “Dengan bebas berkegiatan, otot saraf mereka menjadi tidak kaku, sehingga tidak gampang stres,” katanya lagi. Tidak hanya dari Madura, santri luar biasa di Al-Bajigur kini juga banyak dari Pulau Jawa.
Abdurrahman membuat heboh warga Kabupaten Sumenep karena ulah anehnya yang meniru Nabi Nuh. Dia membuat perahu kayu di atas Bukit Lanjuk. Menurut kiai yang akrab disapa Kiai Bajigur ini, ide membuat perahu muncul saat dirinya berangkat umrah pada 2013. Saat melakukan ibadah tawaf, Kiai Bajigur merasa lautan begitu dekat. Dia kemudian terbayang punya perahu, lengkap dengan alat tangkap ikan dan kotak atau boks untuk menyimpan ikan.
kapal kayu buatan KH Abddurahman, pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Albajigur, Desa Tenonan, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, tampak megah dengan warna biru putih dominan. Dari pengamatan Tempo, Ahad 23 Maret 2014, dinding kapal bagian depan terpampang nama perahu tersebut dalam bahasa Arab “Rafa’tut Thoir” atau Burung Laut.
Dari segi model dan bentuknya, perahu Kiai Abdurrahman yang akrab disapa Kiai Bajigur itu sama dengan kapal rakyat kebanyakan di Kabupaten Sumenep. Bedanya, perahu Kiai Bajigur dilengkapi ruang nahkoda seluas kurang 2X3 meter terletak dibagian belakang kapal. Kapal ini memiliki tiga dek : dek pertama untuk ruang mesin dan barang, dek dua untuk penumpang, dan dek tiga nahkoda. Panjang kapal 15 meter dan lebarnya tiga meter. Disinggung soal inspirasi Nabi Nuh, karena membuat perahu di atas bukit Lanjuk, Kiai Bajigur tertawa lebar. “Saya ini bukan nabi,” katanya.
Menurut dia pembuatan perahu ini tanpa maksud apa pun, bahkan belum tahu mau diapakan perahu tersebut setelah selesai dibuat. “Pokoknya nyemplung laut dulu,” katanya. Kiai Bajigur menegaskan, bukan dirinya yang membuat perahu tersebut. “Saya hanya ide,” katanya. Menurut dia, perahu itu dikerjakan 7 orang ahli perahu dari Jawa dan Kecamatan Saronggi Sumenep. Waktu pengerjaan selama hampir lima bulan, menelan biaya Rp 400 juta. “Uangnya dari belas kasih Allah,” kata kiai berambut gondrong itu
KH Abdurrahman membuat heboh warga Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Sudah lebih dari dua bulan namanya diperbincangkan warga karena ulah anehnya yang meniru Nabi Nuh. Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Al-Bajigur di Desa Tenonan, Kecamatan Manding, ini membuat perahu di atas Bukit Lanjuk.
Menurut kiai yang akrab disapa Kiai Bajigur ini, ide membuat perahu muncul saat dirinya berangkat umrah pada 2013. Saat melakukan ibadah tawaf, Kiai Bajigur merasa lautan begitu dekat. Dia kemudian terbayang punya perahu, lengkap dengan alat tangkap ikan dan boks untuk menyimpan ikan. “Saya wujudkan angan itu sepulang umrah,” katanya, Sabtu, 22 Maret 2014.
Perahu Nuh ala Kiai Bajigur itu dibuat sejak bulan Muharam atau November 2013. Karena tak punya lahan, Kiai Bajigur memutuskan membuat perahunya di atas Bukit Lanjuk, tak jauh dari pesantrennya. Perahu itu dikerjakan oleh tujuh orang ahli pembuat perahu. “Lima bulan perahu selesai, anggarannya sekitar Rp 400 juta,” ujarnya.
Karena ide pembuatan perahu spontan, Kiai Bajigur mengaku tidak tahu perahu itu akan dipakai untuk apa. Yang penting, kata dia, lewat perahunya itu, orang bisa mengingat lagi kisah Nabi Nuh. “Yang penting diturunkan dulu dari bukit dan nyemplung ke laut,” ujarnya sambil tertawa. Perahu Kiai Bajigur itu telah dibawa ke laut Pantai Slopeng pada Jumat, 21 Maret 2014. Ratusan orang, terutama warga Desa Tenonan, bergotong royong memindahkan perahu tersebut dengan cara tradisional, yaitu perahu digerakkan memakai alas kayu gelondongan.
Selain karena perahunya, Kiai Bajigur juga dikenal warga karena mayoritas santri di pesantrennya adalah orang yang mengalami gangguan jiwa.