Perilaku ugal-ugalan sopir angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya terus memakan korban. Selama 2011 saja, Polda Metro Jaya mencatat terjadi 112 kali kecelakaan melibatkan angkutan umum. Terakhir, seorang reporter televisi swasta kritis setelah ditabrak Kopaja, Sabtu lalu.
Menurut beberapa sopir angkutan umum yang ditemui di beberapa lokasi di Jakarta, mereka berlaku seenaknya di jalanan demi memenuhi setoran setiap hari.
Menerobos jalur bus transjakarta, menurunkan dan menaikkan penumpang di tengah jalan, berhenti mendadak, tiba-tiba banting setir ke kiri atau ke kanan, tak lupa kebut-kebutan, dilakukan agar bisa mengejar dan mengalahkan angkutan lain untuk merebut calon penumpang.
Edi, sopir metromini 88 jurusan Slipi-Kalideres menuturkan, setiap hari dia harus menyetor Rp 300.000. ”Uang bensin Rp 300.000. Kalau belum dapat Rp 700.000 belum aman,” katanya.
Akhirnya dia nekat masuk ke jalur bus transjakarta Koridor IX di Jalan S Parman. Ruas jalan tersebut macet parah sejak dioperasikannya bus transjakarta Koridor IX. Dia juga menurunkan penumpang di jalur itu sehingga penumpang yang turun harus menyeberang jalan yang ramai ke tepi jalan.
Ketika melihat ada metromini 88 lain di belakangnya, dia langsung tancap gas dan memacu kencang busnya. Kondektur berdiri di pintu sambil melambai-lambaikan tangan, lalu bus memotong jalan kendaraan lain.
Begitu ada penumpang di tepi jalan, metromini yang dikemudikan Edi langsung keluar dari jalur bus transjakarta dan memotong jalan raya. ”Kalau tidak begini, waktu habis di jalan, setoran tidak terkejar. Penumpang makin sedikit, macetnya jalan parah,” kata Edi.
Di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ditemui antrean panjang mikrolet berbeda trayek. Mereka ngetem untuk mendapatkan penumpang sebelum akhirnya berangkat ke tujuannya, antara lain, Jati Padang, Ciganjur, Jagakarsa, dan Lenteng Agung.
Willy (19), salah satu sopir, mengatakan, banyak sopir mikrolet yang bukan sopir resmi.
”Saya juga gantiin teman. Untuk bawa angkot enam jam, saya harus setor uang, seperti sewa. Kalau dapat uang lebih dari yang harus disetorkan, itu baru untung,” katanya.
Willy sudah hampir empat tahun bekerja di dunia angkot. Ia sempat menjadi kondektur dan memberanikan diri belajar menyetir. ”SIM A pernah buat, nembak aja, tapi hilang. Sampai sekarang belum punya lagi,” katanya.
Willy mengakui, sering dimaki pengemudi mobil pribadi atau bus karena suka berhenti seenaknya. ”Mungkin salah, tetapi kalau tidak berhenti di tengah nanti disalip angkot lain. Calon penumpang yang di depan bisa enggak dapet nanti,” ujarnya.
Umar (31), sopir tembak metromini 69 Ciledug-Blok M mengatakan, menjadi sopir tembak harus punya teman sopir. ”Dengan modal berani, yang penting bisa bawa mobil, saya sering menggantikan kalau teman saya itu mau istirahat makan,” kata Umar. Untuk satu rit, Umar mengaku diupah Rp 20.000.
Untuk mengejar agar mendapatkan tambahan, Umar sering kejar-kejaran dengan metromini jurusan sama. ”Sewa (penumpang) sepi, jadi pintar-pintarnya kita,” tutur Umar.
Umar mengatakan, dia sudah kebal dengan sumpah serapah dan omelan penumpang. ”Omelan penumpang enggak digubris. Kalau dituruti, mau dapat apa?” kata Umar.
Joni, salah satu pengguna mobil, mengatakan, dia pernah ditabrak bus saat akan berbelok di Depok. Bus, menurut dia, melaju sangat kencang karena sedang kebut-kebutan dengan sesama bus. Kendati sopir bus sempat meminta maaf dan memberikan Rp 100.000, Joni harus merogoh Rp 5 juta untuk perbaikan bumper depan mobilnya.
Sangat parah
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Royke Lumowa mengakui, tingkat kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah sangat parah sehingga harus ditangani pemerintah pusat yang memiliki wewenang lebih besar dan fasilitas lebih banyak.
”Polisi sudah tidak sanggup lagi mengatasi keruwetan ini. Sebab, selain rasio antara petugas dan jumlah kendaraan sudah semakin buruk, masalah utama kemacetan di Jakarta adalah kian tidak seimbangnya antara jumlah pertambahan jalan dan jumlah pertambahan kendaraan,” ujarnya.
Polisi, lanjut Royke, kini hanya bekerja sebatas penegakan hukum saja. ”Tapi kalau kondisi kemacetan lalu lintas kian memburuk, proses penegakan hukum pun akan kian terbatas pelaksanaannya,” tuturnya.
Menyinggung soal penertiban kendaraan omprengan di Jalan Daan Mogot, Royke berjanji segera merealisasikan langkah itu.
Ketua Dewan Transportasi Kota DKI Jakarta Azas Tigor Nainggolan mengatakan, Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) didesak mengembalikan seluruh pajak kendaraan bermotor untuk membangun infrastruktur dan jaringan kereta api. UKP4 juga didesak mengendalikan pertambahan jumlah kendaraan.
Tigor memaparkan, sudah saatnya UKP4 mengevaluasi penerimaan seluruh pajak kendaraan bermotor dari hulu ke hilir.
Dengan perubahan ini, Tigor berharap persoalan deret hitung dan deret ukur dalam pertambahan jumlah jalan dengan pertambahan jumlah kendaraan bisa ditekan bahkan dihapus.
”Sekarang ini kan pajak kendaraan justru jadi andalan APBD. Nilainya mencapai rata-rata 80 persen dari APBD. Di beberapa daerah bahkan mencapai 90 persen,” ucap Tigor.
Menurut dia, UKP4 juga harus berani mengurangi jumlah kendaraan bermotor serta merevitalisasi pelayanan KA Jabodetabek. Pengurangan jumlah kendaraan bisa dilakukan dengan menghentikan sama sekali impor dan produk kendaraan bermotor untuk sementara sampai persoalan kemacetan mulai terurai atau teratasi.