Sejarah panjang kawasan lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya memang selalu membuat penasaran banyak orang sebab kawasan ini sangat terkenal dan telah ada sejak masa kolonial Belanda. Kini, kawasan itu juga dikatakan sebagai pusat pelacuran terbesar se-Asia Tenggara. Dolly berada di Kelurahan Putat Jata, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Beragam kisah tentang Dolly pun muncul. Ada yang menyebut perintis awal bisnis “esek-esek” di kawasan itu bernama Dolly van der Mart, seorang noni Belanda. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa Dolly lebih dikenal dengan nama Dolly Khavit.
Lokalisasi prostitusi Dolly awalnya merupakan kompleks pemakaman Tionghoa. Sekitar tahun 1960, kawasan itu kemudian dibongkar dan dijadikan permukiman. Sekitar tahun 1967, seorang mantan pekerja seks komersial (PSK) bernama Dolly Khavit yang menikah dengan pelaut Belanda membuka sebuah wisma di kawasan itu. Di dalam buku berjudul Dolly, Kisah Pilu yang Terlewatkan karya penulis Cornelius Prastya R K dan Adir Darma terbitan Pustaka Pena, Yogyakarta, 2011, disebutkan tentang sosok Dolly Khavit yang tomboi.
Dikisahkan, Dolly Khavit mengawali bisnisnya karena kesepian dan merasa sakit hati akibat ditinggal suaminya yang seorang pelaut. Dolly dikenal sebagai sosok wanita cantik yang cukup tersohor kala itu. Hal itu jelas membuat banyak orang penasaran. Meski cantik, Dolly merupakan wanita yang berlagak seperti lelaki. Bahkan disebutkan ia bertransformasi menjadi laki-laki dan menikahi sejumlah perempuan yang kemudian dipekerjakan di rumah bordil yang dikelolanya.
Sebab itu, Dolly diceritakan lebih suka dipanggil “papi” daripada “mami”, sebagaimana biasanya sebutan seorang mucikari. Namun, kecantikannya memang disebut tidak mampu menutup sifat tomboinya. Oleh karena itu, Dolly dinilai bukan hanya sekadar wanita, melainkan juga seorang pria yang menyukai para wanita. Kondisi itu membuat usaha wisma milik “Papi Dolly” ini semakin berkembang. Awalnya hanya untuk melayani tentara Belanda, tetapi laki-laki hidung belang yang datang makin hari makin meluas. Ini sebab, konon pelayanan para anak buah “Papi Dolly” sangat memuaskan.
Bahkan, “Papi Dolly” kemudian tidak hanya memiliki satu wisma, tetapi memiliki empat wisma di kawasan itu. Empat wisma itu masing-masing diberi nama wisma T, Sul, NM, dan MR. Hal itu juga disebutkan dalam buku berjudul Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Komplek Pelacuran Dolly yang ditulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dan diterbitkan oleh Grafiti Pers, April 1982. Bisnis “Papi Dolly” awalnya sempat dilanjutkan oleh seorang anak hasil hubungan Dolly dengan pelaut Belanda. Namun, usaha itu tidak dilanjutkan setelah anak “Papi Dolly” tersebut meninggal dunia.
Keturunan Dolly disebutkan masih ada yang tinggal di Surabaya, tetapi tidak lagi melanjutkan bisnis itu. Kini, nama Dolly yang tersohor dalam dunia prostitusi sebentar lagi hanya tinggal cerita. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dengan tekad kuatnya akan menutup kawasan itu malam ini.
Semoga, setelah penutupan kompleks lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya, tidak ada lagi yang mengidentikkan nama Dolly sebagai tempat pelacuran. Harapan itu diungkapkan Handoyo yang mengaku sebagai adik Dolly A Chavid, yang ingin arwah kakaknya tenang di alam baka. ”Setiap hari saya selalu berdoa agar dia tenang. Saya sampai menangis kalau ingat dia,” imbuh anak terakhir dari tiga bersaudara itu.
Selama ini, tidak ada satu pun orang yang tahu dia adalah adik kandung Dolly. Satu adik Dolly lainnya juga masih hidup, dan kini dalam kondisi sakit-sakitan. Handoyo mengaku menyembunyikan identitasnya karena malu disebut sebagai famili dari mantan PSK dan mucikari paling kesohor se-Asia Tenggara itu. Kepada Handoyo, Dolly hanya bisa menangis. Dia sakit hati dengan orang yang mencetuskan agar namanya digunakan untuk kompleks pelacuran.
Namun, menurut Handoyo, Dolly pun mengaku tidak mengerti siapa yang awalnya memberikan nama itu untuk sebutan tempat tersebut. ”Sakit hati itu dibawa mati kakak saya,” kata pria kelahiran Surabaya, 1936, ini.
olly meninggal pada 1992. Pihak keluarga memakamkannya di kompleks pemakaman di Sukun, Kota Malang. Kini, makam tersebut ramai dicari para jurnalis, menyusul kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang menutup kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak.
Seorang pekerja seks komersial (PSK), yang mengaku punya nama panggilan Rina dan tinggal di wisma Gang Dolly, mengaku hatinya luluh setelah mendengar dan ikut membaca doa-doa dalam istigasah saat deklarasi tandingan yang digelar di sepanjang Jalan Jarak, jalan masuk ke Gang Dolly, diikuti warga serta puluhan PSK setempat.
Deklarasi dengan membaca doa istigasah disertai dengan potong tumpeng itu adalah deklarasi tandingan melawan deklarasi yang digelar Pemerintah Kota Surabaya, di Gedung Islamic Centre, tak jauh dari lokalisasi Jarak dan Dolly, Rabu (18/6/2014) malam.
Istigasah itu dilangsungkan dengan harapan Dolly tetap buka dan penghuninya terhindar dari segala penganiayaan dari pihak lain yang berencana akan melakukan sweeping ke lokalisasi Dolly dan Jarak. Dari pantauan, saat istigasah berlangsung, yang dipimpin oleh seorang modin setempat, Rina menangis dan terlihat khusyuk membaca kalimat-kalimat istigasah. Seusai istigasah dan berhasil ditemui, Rina mengaku terharu setelah membaca kalimat-kalimat istigasah.
“Hati saya luluh setelah baca istigasah. Terasa banyak dosa. Tapi seakan berat mau meninggalkan kehidupan di Dolly,” katanya lirih. Ditanya soal mengapa bisa masuk ke Dolly, Rina tak mau mengisahkan perjalanan hidupnya hingga masuk Dolly. “Cukup saya yang tahu. Sekarang mumpung libur mau menenangkan diri dulu. Mau istirahat,” aku perempuan yang masih berumur 36 tahun itu.
Rina yang mengaku kelahiran Jember itu sudah lima tahun menghuni Dolly. “Mungkin pada saatnya saya harus meninggalkan profesi saya, tapi tidak sekarang. Bisa saja minggu depan atau bulan depan karena pemerintah sudah deklarasi penutupan Dolly, walau warga dan PSK di sini menolaknya,” katanya pasrah. Ketika ditanya apakah akan segera meninggalkan Dolly, Rina tak menjawab. Hanya menggelengkan kepalanya. “Maaf ya, saya mau balik ke wisma. Mau menenangkan diri,” katanya.
Sulastri, seorang wanita yang kini berumur 29 tahun, mengaku memilih menjadi perempuan bayaran di salah satu wisma di Gang Dolly, Surabaya, setelah diperkosa bapaknya. Kala itu, ayah Sulastri kesepian karena ibunya meninggal dunia akibat kecelakaan. Jadilah Sulastri sebagai tempat pelampiasan nafsu bapaknya. Masa depannya pun hancur. “Saya putuskan nekat ke Dolly. Saat itu, saya baru lulus SMA di kampung. Akibat bapak, saya hamil. Terpaksa saya gugurkan saat masih dua bulan hamil,” kata perempuan asal Tulungagung itu.
Sejak tahun 2004, Sulastri tak pernah pulang ke kampung halamannya. Ia tidak tahu lagi keberadaan sanak keluarganya di kampung. “Karenanya, saya berharap dan akan terus berjuang, bagaimana (supaya) Dolly tetap buka,” tekannya. Sulastri adalah salah satu PSK di Gang Dolly yang aktif mengikuti aksi blokade jalan. “Saya dan teman-teman akan berjuang mati-matian bagaimana (supaya) Dolly dan Jarak tetap buka,” kata Sulastri.
Ditanya soal besarnya uang kompensasi dari Pemerintah Kota Surabaya senilai Rp 5.050.000 untuk PSK dan Rp 5.000.000 untuk mucikari, Sulastri tegas menolaknya. “Kita menolak ditutup kok, ya harus tolak juga uang kompensasinya,” kata Sulastri. Sulastri mengaku baru akan berhenti bekerja di Dolly jika sudah menikah. “Banyak kok calon yang akan menikah dengan saya. Tapi masih saya persiapkan. Saya sudah punya pacar,” kata perempuan yang mengaku pernah diajak salah satu kepala desa di wilayah Surabaya ini.
Selama bekerja di Dolly, tarif Sulastri tergolong mahal. Per jamnya mencapai Rp 300.000. “Tapi uang itu masih dibagi tiga, untuk mucikari, dan pemilik wisma,” kata dia tanpa mau menyebutkan berapa persen yang ia dapat untuk sekali melayani tamu. “Tak ada kata lain selain tetap tolak penutupan Dolly. Walau sudah dideklarasikan oleh Wali Kota, Dolly dan Jarak ditutup, kita akan tetap beroperasi. Yang datang terima uang kompensasi itu mayoritas bukan PSK, melainkan anggota PKK,” selorohnya.
Setelah Pemerintah Kota Surabaya menggelar deklarasi menutup lokalisasi Jarak dan Dolly pada Rabu (18/6/2014) malam, suasana di dua lokalisasi belum ada perubahan signifikan. Hanya terlihat penjagaan dari warga setempat di sepanjang jalan Jarak dan gang Dolly masih dilakukan. Malam terakhir dua lokalisasi ditutup, menemui seorang pekerja seks komersial (PSK) yang menghuni lokalisasi Jarak. Ia sudah berumur 41 tahun.
“Saya jual diri di Dolly hanya untuk membiayai anak saya sekolah. Anak saya tiga yang semuanya masih sekolah. Suami saya sudah 2 tahun meninggal. Cari pekerjaan susah. Ya, saya kerja di Dolly untuk memenuhi kebutuhan saya dan anak-anak saya,” beber perempuan yang Rabu (18/6/2014) malam juga ikut istigasah bersama PSK lainnya.
Menurut perempuan yang mewanti-wanti tak disebutkan nama aslinya itu, dia masuk ke Dolly sejak 2005 lalu. Sejak ditinggal suaminya, dia harus menanggung biaya hidup tiga anaknya. “Soal dosa, Tuhan yang lebih tahu. Dosa tak ditentukan manusia,” ujarnya sembari menutupi wajahnya dengan sapu tangan. Berapa penghasilan yang didapatnya setiap hari, tidak tentu. “Di Jarak tarifnya beda dengan Dolly. Di Jarak tarifnya lebih murah. Paling mahal Rp 100.000. Kalau di Dolly di atas Rp 200.000. Jika ramai, paling ada tiga tamu yang saya layani,” akunya.
Tapi selama kerja di lokalisasi Jarak, dia mampu membiayai ketiga anaknya untuk sekolah. Kini ketiga anaknya ada di Malang. Setelah pemkot Surabaya menggelar deklarasi menutup dua lokalisasi, dia berharap wali kota Surabaya mau berdialog dengan para PSK dan warga di lima RW di Jarak dan di Dolly. “Jujur, tak ada yang mau menjual dirinya. Tapi karena ini soal kebutuhan ekonomi dan susahnya cari pekerjaan. Kerja apa saja bisa dilakukan,” katanya.
Ditanya apakah akan pulang kampung ke Malang? Dia mengaku jika di Jarak dan di Dolly sudah tak bisa dioperasi ia terpaksa harus pulang ke Malang. “Karena di Malang juga ada lokalisasi. Tapi jika ada pekerjaan lain, mungkin cari pekerjaan lain,” terangnya. Soal uang konvensasi dari Pemkot Surabaya senilai Rp 3 juta itu, perempuan yang tinggal di Kecamatan Sumbermanjing Wetan sepakat tidak akan mengambilnya. “Kita jaga solidaritas. Sepakat tak akan mengambil uang itu. Lebih baik kita terima tamu saja,” tegasnya.
Sementara itu, Pemkot Surabaya, pada Kamis (19/6/2014) pagi, akan memberikan uang konvensasi untuk PSK dan mucikari kepada 1.449 orang. Pembagian uang konvensasi itu akan diberikan di kantor Koramil Kecamatan Sawahan, tak jauh dari dua lokalisasi Jarak dan Dolly. Musik berdentam keras di salah satu tempat hiburan malam di Banyuwangi. Seorang perempuan mengenakan pakaian seksi tampak bergoyang mengikuti irama musik.
“Nunggu pelanggan,” ungkapnya. Sari, perempuan berusia 31 tahun itu, mengaku sudah hampir delapan bulan memilih beroperasi di tempat hiburan malam. “Sebelum di sini saya tinggal di kompleks lokalisasi. Ikut sama mucikari. Tapi sejak ditutup dan sering grebekan sama satpol PP, hidup saya enggak tenang. Akhirnya, saya kos saja dekat sini (menyebutkan nama lingkungan). Kalau malam, baru saya keluar cari pelanggan,” kata perempuan yang mengaku berasal dari Lumajang ini.
Sari mengatakan bahwa ia adalah salah satu wanita pekerja seksual yang mendapatkan bantuan dari pemerintah pada tahun 2013 lalu. Ia memilih kembali menjual diri karena uang bantuan yang ia dapatkan habis untuk membayar utang. “Sama mami saya yang dulu, saya punya utang banyak. Jadi uang bantuannya buat nutup utang biar bisa keluar dan pindah ke kompleks lokalisasi lain. Eh, sudah pindah ternyata banyak grebekan juga. Pernah saya sampai harus sembunyi di pohon-pohon jati sampai tengah malam agar enggak tertangkap, waktu tempat baru saya digerebek satpol PP. Kapok sih, tapi gimana lagi? Saya butuh uang buat hidup anak saya,” ungkap Sari.
Sari bercerita, anaknya ia titipkan pada saudaranya yang tinggal di Jember. “Seminggu sekali saya antar uang buat anak saya. Dia sekarang TK. Saya harus bekerja agar dia bisa sekolah. Ayahnya enggak tau ke mana, katanya sih nikah lagi. Dia meninggalkan saya, waktu anak saya masih umur tiga bulan. Saya bekerja seperti ini karena terpaksa, belum lagi suami saya meninggalkan utang cukup banyak. Rumah kami dipegang rentenir sekarang,” keluhnya.
Saat memutuskan untuk kos, Sari mengatakan bahwa ia harus mengeluarkan uang lebih dibandingkan saat tinggal di kawasan lokalisasi. “Kalo kos kan harus bayar uang kos setiap bulan, terus kadang juga harus beli minuman sendiri seperti ini. Tapi saya anti membawa tamu saya ke kamar kos. Saya maunya di hotel,” tambahnya.
Demi menghindari grebekan, Sari tidak menetap. Ia berpindah-pindah dari satu tempat hiburan ke tempat hiburan lain. “Nggak harus dugem seperti ini kok. Pindah-pindah. Kalau nggak gitu, gampang terdata sama petugas. Di kafe-kafe juga, tetapi biasanya janjian sama yang sudah kenal. Kalau kafe, biasanya saya di wilayah selatan,” ujar Sari lagi.
Agar pekerjaannya tidak diketahui oleh tetangga kos, Sari mengaku bekerja sebagai penjaga toko. “Saya pakai baju biasa aja. Dandan sama gantinya nanti di rumah teman,” ujarnya. Untuk menjaga kesehatan, dia masih rajin memeriksakan diri dan meminta pelanggannya menggunakan kondom.
“Istilahnya korekan. Paling lama tiga bulan sekali saya selalu periksa ke puskesmas langganan sejak di kompleks lokalisasi dulu. Saya tau kalau pekerjaan saya ini bisa jadi sumber penyakit. Siapa lagi yang peduli kalau bukan saya sendiri. Saya kerja ya kerja sendiri. Saya sakit ya sakit sendiri. Anak saya sekolah ya saya yang mati-matian kerja seperti ini. Jadi ya saya yang harus melindungi diri saya sendiri,” kata dia dengan mata berkaca-kaca.
Sari mengatakan, ia ingin berhenti dari pekerjaan yang sudah ia tekuni selama lima tahun terakhir ini. Namun, dia tidak tahu harus bekerja apa lagi. “Saya janji pada diri saya sendiri, setelah utang dari suami saya lunas, saya mau berhenti. Jadi pembantu pun saya enggak masalah. Sekarang perempuan mana yang mau dan mampu harus tidur dengan laki-laki yang berbeda setiap hari kalau bukan untuk bertahan hidup seperti saya,” kata Sari.