TKI Di Eksploitasi Oleh Kepentingan Ekonomi PJTKA


Stigma yang melekat pada perempuan pekerja migran di rumah tangga adalah tak berketerampilan, berpendidikan rendah, submisif, dan berkemampuan terbatas.

Namun, Elly Anita (29) asal Jember, Jawa Timur, sama sekali berlawanan dengan stereotip itu. Meskipun tak tamat SD, Elly yang pernah menjadi pekerja migran di Malaysia, Hongkong, Bahrain, Dubai, dan Kurdistan ini sangat percaya diri dan tahu apa yang dia maui.

Seperti ketika ia ikut tim dari Unit III/Perlindungan Perempuan dan Anak Direktorat I/Keamanan dan Transnasional Bareskrim Polri mengintai rumah di kawasan Jati Permai, Jati Rahayu, Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, Juli lalu. Di rumah itu ada 11 perempuan, setengahnya berusia di bawah 21 tahun, yang akan diberangkatkan menjadi pekerja rumah tangga (PRT) di Timur Tengah.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menetapkan usia minimal bekerja sebagai PRT di luar negeri adalah 21 tahun. Indikasi perdagangan orang sangat kuat di situ. Elly, yang kini bekerja di Divisi Advokasi Migrant CARE, aktif melapor dan mendatangi Unit III/Perlindungan Perempuan dan Anak Bareskrim Polri.

Elly merasakan dampak lemahnya pengawasan pemerintah dalam perekrutan, penempatan, dan perlindungan tenaga kerja, terutama untuk menjadi PRT, di luar negeri. Ia pergi ke Malaysia tahun 1997 saat usianya 16 tahun untuk jadi pengasuh bayi, lalu ke Hongkong menjadi PRT. Selesai kontrak, ia ke Dubai karena ditawari jadi sekretaris di perusahaan agen tenaga kerja asing.

”Saya mengalami pelecehan seksual oleh pemilik agensi. Saya menolak, lalu dipindah untuk mengasuh bayi di rumah anaknya. Karena ia tetap mencoba melecehkan, saya minta pindah kerja,” kata Elly, Rabu (24/11).

Ia setuju dipindah ke Kurdistan karena agen menginformasikan Kurdistan bagian dari Italia. Setiba di Selemania, Kurdistan, 18 Desember 2006, wilayah di timur Irak itu sedang berkonflik senjata dengan Turki.

Kurdistan bukan negara tujuan penempatan TKI, tetapi karena kontrol Pemerintah RI lemah, TKI dapat dipindah kerja ke negara yang bahkan bisa mengancam nyawa, seperti dialami Elly. ”Masih banyak TKI di Kurdistan. Transit di Jordania, Dubai, Abu Dhabi,” kata Elly.

Lemah

Penganiayaan oleh majikan di Madinah, Arab Saudi, terhadap Sumiati binti Salan Mustapa yang terungkap pekan lalu merupakan kejadian kesekian kali (lihat juga halaman 46). Pemaparan media massa mencuatkan kasus ini.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, saat ditemui di kantor PMI Jakarta, Jumat, mengatakan, saat menjabat Menko Kesra, untuk menekan jumlah kekerasan terhadap TKI di Malaysia, ia menganggarkan dana untuk pembelaan melalui jalur hukum setempat guna menyelesaikan persoalan pidana dan perdata.

Tujuannya, menunjukkan Pemerintah Indonesia peduli dan sungguh melindungi warganya. Selain itu, untuk memberi efek jera kepada majikan lain.

Jusuf Kalla menyarankan duta besar dan para atase di negara penempatan memahami hukum dan budaya setempat. ”Gunakan pengacara setempat. Cari yang muda seperti dari lembaga bantuan hukum sehingga biaya tidak mahal,” tandasnya.

Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, yang disertasi S-3-nya di University of Amsterdam tentang TKW di Arab Saudi, mengatakan, risetnya menunjukkan penyelesaian melalui jalur hukum sangat mungkin dilakukan di Arab Saudi. Pemerintah Arab, terutama di bawah Raja Abdullah, semakin terbuka pada pembaruan, termasuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.

”Proses hukum memang lama dan memakan biaya,” kata Yuniyanti. Situasi tersebut ditambah dengan sikap PJTKI dan perwakilan RI yang tidak mendorong penyelesaian hukum, selain tidak ada dorongan ke mana TKI harus menyelesaikan kasus hukum.

Pencitraan

Media Arab Saudi intensif memberitakan kasus kekerasan terhadap TKW. Namun, menurut Yuniyanti, tidak tergambar upaya pembelaan Pemerintah RI. Citra di masyarakat setempat, Pemerintah RI tidak melindungi warganya. ”Ini berbeda dengan pemberitaan terhadap tenaga kerja Filipina. Tergambar di media ketegasan pembelaan Pemerintah Filipina. Negara harus menunjukkan sikap tegas kepada negara penerima,” kata Yuniyanti.

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto berpendapat sama, pemerintah harus membuat perjanjian bilateral dengan negara penerima yang lebih dari sekadar nota kesepahaman. Perwakilan RI juga harus memastikan setiap kasus diselesaikan melalui jalur hukum.

”Setiap elemen bangsa harus memperlakukan TKI seperti AS memperlakukan tentaranya yang dikirim ke luar negeri, yaitu politisasi ataupun tindakan yang mengambil manfaat atas mereka harus dihentikan,” katanya.

Bersamaan dengan peringatan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan selama 16 hari, mulai dari 25 November, Yuniyanti mengingatkan, penganiayaan, pelecehan seksual, dan masalah lain terhadap TKW tidak akan selesai apabila lingkaran eksploitasi ekonomi dan politik dalam pengiriman TKW tidak diurai. ”Negara harus ambil alih tanggung jawab pengawasan dan perlindungan, tidak menyerahkan kepada pasar melalui perusahaan pengerah jasa TKI,” katanya

3 thoughts on “TKI Di Eksploitasi Oleh Kepentingan Ekonomi PJTKA

  1. minggu malam tgl 28 Nov 2010 sekitar jam 21.00, aku menyimak JAK TV yg mewawancarai Mba Elly dari migrant care. Sangat menarik wawancaranya. Elly yang pernah menjadi korban perdagangan manusia cukup pandai menceritalan pengalamannya. Saya berharap stasiun TV lainnya di Indonesia mewawancarai mba Elly ini agar tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan. Mereka juga adalah bagian dari bangsa ini, siapapun mereka marilah kita bersatu membela saudara-saudara kita lainnya. Hidup mba Elly, selamat berjuang, semoga anda yg sudah mendapat penghargaan dari pemrintah US, berhasil menyelamatkan saudara-saudara kita yg sedang mengalami nasib tragis terutama di jazirah Arab dll.

  2. menurut saya, perlu juga mendatangkan dan mewawancarai para tkw atau tki yang dipulangkan bermasalah, agar pemerintah dan masyarakat bisa melihat permasalahan yang paling menonjol di salah satu negara penempatan misalkan saudi arabia, dgn melihat permasalahan yang menonjol pemerintah bisa membuat suatu aturan hukum perlindungan terhadap para buruh migran di indonesia…

  3. memang benar saya melihat dan merasaka sendiri karena saya sudah 4 tahun bekerja di Arab Saudi, Tenaga Kerja Wanita Filipina meskipun jalan kaki sendiri di jalanan tidak ada seorang pun yang berani menyapa atau menggodanya katanya awas itu orang filipina ini karena semua org tahu betapa tegasnya pemerintah filipina dalam menangani semua kasus warganya… lain dgn indonesia dilecehkan bahkan ditawar dengan harga murah… sudah jelas diperkosa dan dibunuh pemerintah tutup mata dan tutup telingan skrang di kota Tabuk aja masih ada mayat 4 mayat warga indonesia sudah 4 bulan belum ada perhatian dari pemerintah…. warga negara lain bilang kasihan gak diurus sama pemerintahnya…katanya

Leave a comment