Gempa yang Mengintai Ibu Kota Jakarta


Masih lekat dalam ingatan Safarudin, saat Jakarta diguncang gempa tahun lalu. Rabu, 2 September 2009, pukul 14.55 wib, tukang ojek 27 tahun yang biasa mangkal di dekat Wisma Nusantara itu terhenyak, ketika bumi yang dipijaknya bergoyang keras.

“Kreeek…kreeek,” bunyi itu terdengar dari atas, begitu keras di tengah deru kendaraan yang lalu-lalang di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, yang mulai memadat. Safar menengadah ke langit, gedung-gedung jangkung di sekelilingnya terlihat berayun-ayun seolah-olah hendak rubuh menimpanya.

Belum selesai ia mencerna apa yang tengah terjadi, sekonyong-konyong orang-orang dari dalam gedung Wisma Nusantara terbirit-birit berhamburan keluar gedung. “Gempa… gempa..” Tanpa pikir panjang lagi, Safar melompat ke motornya. Ia pacu gas sekencang-kencangnya menyusuri Jl Sutan Syahrir, menjauh dari rimba pencakar langit di pusat kota itu.

Tak jauh dari situ, Sianto Wongjoyo, salah seorang Manajer di Dell Indonesia masih ‘terperangkap’ di kantornya yang berada lantai atas Menara BCA Grand Indonesia Jakarta. Kantor Dell yang baru setahun pindah ke gedung itu, memang terletak lumayan tinggi, yakni di Lantai 48 dari 57 lantai yang ada.

Saat kantornya mulai bergoyang, Sianto tengah rapat. Biasanya ia tak terlalu sensitif terhadap gempa. Namun kali itu guncangan gempa cukup besar untuk menyadarkannya. Lantai bergoyang, kaca-kaca kantor bergetar, dinding-dinding berderak. “Kali ini harus saya akui, benar-benar hebat guncangannya,” Sianto menggambarkan.

Dengan sigap, petugas keamanan memandu para karyawan berkumpul di lorong lift. Dalam hati, Sianto tak lepas berdoa. Menunggu cemas, hingga akhirnya gempa berhenti. Sesaat kemudian, semua dievakuasi keluar gedung, menyusuri anak tangga satu persatu. Jarak 48 lantai memang cukup membuat lutut sedikit linu. “Lumayan capek sih.” Di bawah, ribuan pengunjung dan karyawan yang berkantor di Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Wisma Nusantara, Hotel Nikko, sudah menyemut.

Jangan lupa, Jakarta juga masih punya sekitar 1400 gedung tinggi lainnya. Praktis, aktivitas perkantoran di banyak tempat di Jakarta lumpuh sesaat. Padahal, episentrum gempa saat itu berada di perairan selatan Jawa antara Sukabumi dan Bandung, atau tepatnya di koordinat 7,809 derajat Lintang Selatan dan 107,259 derajat Bujur Timur.

Di Jawa Barat Gempa berkekuatan 7,3 SR itu merenggut setidaknya 79 nyawa, 21 korban hilang, 63.717 rumah rusak berat, dengan perkiraan kerugian lebih dari Rp 300 miliar. Sementara di Jakarta, tak ada korban jiwa dan kerusakan yang berarti. Hanya saja, beberapa gedung mengalami keretakan di sana sini. Setidaknya peristiwa itu mengingatkan semua bahwa Jakarta bukan tempat aman dari ancaman gempa.

Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Profesor Riset Hery Harjono, secara umum wilayah Jakarta memiliki formasi geologi berusia muda. Lapisan paling atas umumnya berupa tanah lunak yang terdiri dari lempung dan lempung pasiran yang berasal dari endapan pantai dan endapan akibat banjir yang berasal dari periode holosen akhir (berusia sekitar 12 ribu tahun).

Kemudian, di bawahnya terdapat endapan aluvial volkanik yang berasal dari pleistosen akhir (berusia lebih dari 12 ribu tahun). Di bawahnya terdapat endapan marine dan non-marine berumur Pleistosen Awal (sekitar 2.588 juta tahun). Di bagian paling bawah terdapat batuan berumur tersier (1,8 juta – 6,5 juta tahun).

Ir Engkon K Kertapati, peneliti pada Pusat Survei Geologi – Badan Geologi, mengatakan bahwa Jakarta berada di atas tanah yang sangat lemah dan rentan terhadap guncangan gempa. Secara geologi, Jakarta terbagi dua wilayah; Jakarta bagian utara di mana permukaan tanahnya merupakan tanah lunak berusia holosen, dan Jakarta bagian selatan yang lapisan tanahnya relatif lebih padat dan berusia lebih tua (pleistosen).

Bila gempa kuat terjadi, wilayah Jakarta utara paling rawan mengalami proses likuifaksi alias amblasnya permukaan tanah karena perubahan sifat tanah dari padat menjadi air karena gempa. Selain itu, sifat tanah di wilayah utara itu juga akan merambatkan getaran gempa sehingga mengalami amplifikasi atau perbesaran guncangan terhadap gedung-gedung di atasnya.

Menurut Engkon, ini yang membuat Jakarta juga turut merasakan guncangan gempa Tasikmalaya yang pusatnya berjarak hampir dua ratus km dari Jakarta. Saat itu, wilayah Utara Jakarta mengalami amplifikasi gempa hingga 2 kali, sementara wilayah selatan Jakarta mengalami amplifikasi gempa sebesar 1,5 kali.

Oleh karenanya, ahli Gempa LIPI Dr Danny Hilman Natawidjaya mengatakan bila gempa Tasik bermagnitudo lebih besar, misalnya lebih dari 8SR, maka gempa itu bisa memporakporandakan Jakarta. “Ini bisa mematikan, seperti kejadian gempa di Meksiko tahun 1985,” kata Danny. Saat itu, ia menjelaskan, sumber gempa berjarak lebih dari 300 km. Namun, dengan kekuatan gempa sebesar 8,1 SR, gempa itu meratakan kota Mexico City.

Badan survei geologi AS, USGS, menyebutkan, setidaknya 9.500 orang tewas, 30 ribu orang terluka, lebih dari 100 ribu orang menggelandang karena rumah mereka hancur, 412 bangunan tumbang dan 3.124 bangunan lainnya rusak di Mexico City, dengan jumlah kerugian mencapai US$ 3 – 4 miliar. 60 persen dari bangunan-bangunan di daerah lain seperti Ciudad Guzman, Jalisco juga musnah.

Dari catatan Prof Masyhur Irsyam, pakar teknik sipil ITB yang juga kepala tim revisi Peta Gempa Indonesia 2010, pusat gempa Meksiko terjadi di bawah garis pantai Pasifik Meksiko. Episentrumnya berjarak 380 km dari Mexico City.

Lalu kenapa jarak pusat gempa yang begitu jauh tetap bisa mengoyak bangunan-bangunan di Mexico City? Ternyata kota itu berdiri di atas endapan lempung vulkanik yang berusia kurang dari 2.500 tahun. Ini menyebabkan getaran gempa di permukaan tanah bisa mengalami amplifikasi antara 4-5 kali, dan amplifikasi gempa pada bangunan bisa mencapai 21 kali lipat dari getaran di batuan dasar.

Di Jakarta sendiri, gedung-gedung yang dibangun, musti memenuhi standar tahan gempa hingga 8 Skala Richter. Menurut Hermawan Sarwono, Direktur Utama perusahaan kontraktor umum PT Insani Daya Kreasi, gedung-gedung di Jakarta yang dibangun pasca 1989 sudah harus memenuhi persyaratan struktur gedung dan kinerja struktur gedung sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 1989.

“Bahkan, standarisasi pembangunan gedung pada 2002, ditingkatkan lagi melalui SNI 03-1726-2002 yang jauh lebih ketat dari standar SNI 1989,” kata Hermawan lagi. Namun, kata Masyhur, ada beberapa tahapan yang perlu dilewati dalam sebuah perencanaan bangunan di Jakarta agar tahan gempa.

Pertama, harus diketahui goyangan atau percepatan di batuan dasar. Angka ini bisa diperoleh dari Peta Gempa Indonesia 2010, di mana percepatan di batuan dasar (Peak Base Acceleration/ PBA) Jakarta adalah 0.19 g (g = gravitasi bumi = 981 cm per detik kuadrat) untuk 10 persen kemungkinan terjadinya dalam 50 tahun dan untuk perioda ulang gempabumi 475 tahunan.

Setelah itu, perlu diketahui pula percepatan di permukaan tanah dengan menghitung efek kondisi tanah setempat, misalnya apakah tanah lunak atau tanah keras. Untuk Jakarta, goyangan di batuan dasarnya bisa saja sama, namun goyangan di permukaan tanah Jakarta Utara dan Jakarta Selatan berbeda, karena perbedaan tanahnya.

Yang terakhir, perlu diperhitungkan goyangan di bangunannya sendiri, yang didasarkan pada perilaku bangunan tersebut. “Dengan mengetahui goyangan pada bangunan, maka dapat dihitung besarnya gaya gempa pada bangunan,” kata Masyhur.

Padahal, hingga kini Jakarta masih belum memiliki peta mikrozonasi gempa, yang bisa secara lengkap menyediakan informasi peta kelabilan tanah, termasuk angka percepatan/ goyangan di permukaan tanah di masing-masing wilayah Jakarta. “Sayangnya di Jakarta kita tidak punya,” kata Masyhur.

Padahal, Jakarta diintai oleh beberapa sesar aktif yang siap ‘menyuplai’ getaran gempa yang bisa sampai ke wilayah Jakarta. Di antaranya adalah Sesar Cimandiri dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan kecepatan pergerakan tanah 4 mm per tahun, sesar Lembang dengan magnitudo gempa 6,5 SR dan kecepatan pergerakan tanah 1,5 mm per tahun, dan Sesar Sunda dengan magnitudo gempa 7,2 SR dan kecepatan pergerakan tanah 5 mm per tahun.

Belum lagi rumor adanya sesar purba bernama Sesar Ciputat yang konon terbujur dari Ciputat hingga ke daerah Kota. Danny Hilman mencurigai keberadaan sesar ini dari keberadaan sumber mata air panas di sekitar Gedung Arsip Nasional. Meski patahan aktif Jakarta belum terdeteksi, kata Danny, sejarah mencatat gempa besar pernah meluluhlantakkan Jakarta yaitu gempa yang terjadi pada 1699 dan 1852.

Namun, tak semua setuju dengan indikasi keberadaan sesar di Jakarta. “Secara pribadi saya katakan Sesar Ciputat tidak ada,” kata Engkon. Sebab, Jakarta tak memiliki sumber gempa dangkal yang merupakan indikasi dari kegiatan sesar. Namun, Engkon sepakat dengan Danny mengenai kejadian gempa 1699 yang sempat mengguncang Jakarta.

Gempa tahun 1699, kata Engkon berpusat di selatan Gunung Gede, yang menyebabkan terjadinya kerusakan bangunan dan kerusakan parah di sekitar Hanjawar, Puncak. Sir Thomas Stamford Raffles juga mencatat dalam bukunya History of Java, “Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan tak sehat, kian parah.”

Menurut buku Encyclopedy of World Geography, gempa ini juga menyebabkan Sungai Ciliwung tertutup oleh longsor lumpur, dan pohon-pohon yang bertumbangan, sehingga terjadi banjir di banyak tempat. Tak sampai seabad kemudian, gempa kembali melanda Jakarta pada 1780.

Sebuah Buku berjudul Transits of Venus: New Views of the Solar System and Galaxy mencatat bahwa Observatorium Mohr yang terletak di Batavia, adalah observatorium yang sukses melaporkan beberapa kejadian Transit of Venus (kondisi saat Matahari Venus dan bumi dalam satu garis). Namun, observatorium tersebut hancur akibat gempa tahun 1780.

Pada 27 Agustus 1883, Jakarta kembali diguncang gempa besar akibat letusan Gunung Krakatau yang memicu tsunami 35 meter dan menewaskan 36 ribu jiwa di Jawa bagian barat, dan sebelah selatan Sumatera. Dari catatan-catatan sejarah tadi, Jakarta memang pernah beberapa kali mengalami gempa hebat.

Yang jelas, kata Engkon, ancaman bagi penduduk Jakarta adalah gempa-gempa dangkal yang bersumber dari Jawa Selatan yakni dari arah zona Subduksi (Megathrust) seperti gempa Tasik. Kerentanan Jakarta akan semakin parah bila daerah-daerah tesebut padat penduduk dan bangunan-bangunannya tidak atau kurang memperhatikan aspek bangunan tahan gempa.

Oleh karenanya, Engkon menyarankan agar Jakarta bersiap sebelum bencana tiba, khususnya Jakarta Utara. Pasalnya, di wilayah ini berbagai infrastruktur penting berdiri, dari mulai pelabuhan, kegiatan ekspor impor, transportasi, daerah wisata, sentra-sentra perdagangan juga peninggalan sejarah. ”Sebab, bagaimanapun juga, gempa bumi tidak akan membunuh manusia. Tapi, bangunan roboh lah yang bisa membunuh manusia,” kata Engkon.

Menurut Anggota DPR Pekerjaan Halal TKW Memalukan Negara


Seusai keruwetan berurusan dengan administrasi Bandara Dubai (baca: Rombongan DPR ”Telantarkan” TKW di Dubai), rombongan penumpang pesawat Emirates dengan nomor penerbangan EK 358 yang batal terbang menuju Jakarta akhirnya tiba di Hotel Holiday Inn, tidak jauh dari bandara, Sabtu (6/11/2010).

Di sini, para TKW kembali gaduh. Lagi-lagi mereka bingung dengan urusan pembagian kamar. Riny Konig, Adiati Kristiarini, Agus Safari, dan sejumlah orang Indonesia kembali turun tangan mengatur mereka yang kebingungan.

Dalam perbincangan dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu, Riny Konig menuturkan, saat mereka tengah sibuk mengoordinasi seratusan TKW, tiba-tiba seorang perempuan menegurnya.

”Bu, tolong, dong, dibilangin rombongannya jangan ribut, malu-maluin negara aja, kan enggak enak ribut begitu,” tegur perempuan itu kepada Riny.
”Rombongan mana, Bu?” tanya Rini.
”Itu, rombongan TKW,” kata perempuan itu.
”Lha, saya bukan TKW, Bu. Saya ini ingin pulang ke Indonesia, berlibur, kebetulan bertemu dengan mereka. Mereka ribut karena bingung Bu, banyak yang bertahun-tahun enggak pulang, kasihan. Ibu mau liburan juga?” tanya Rinny.
”O enggak, saya baru pulang dari Moskow, tugas negara,” kata perempuan itu yang menurut Rinny hanya tetap berdiri tanpa ikut membantu para TKW yang gaduh karena bingung. Belakangan, Riny tahu perempuan itu adalah anggota DPR yang habis melakukan studi banding di Moskwa, Rusia.

Mereka menginap di hotel itu satu malam. Selama satu malam itu pula Riny, Atik, Agus, dan kawan-kawan Indonesia lainnya mendata satu-satu kamar para TKW yang jumlahnya sekitar 150 orang. ”Hampir setiap jam kami berhubungan dengan informasi hotel, apa itu untuk membantu mereka urusan kamar, urusan telepon, urusan makan, shuttle bus ke Dubai City untuk menukar uang dan belanja minuman dan snack karena di hotel mahal,” terang Riny.

Tangan melepuh dan pendarahan

Sementara, Adiati menceritakan, di antara para TKW itu ada seorang TKW yang kedua tangannya melepuh disiram air keras oleh majikannya di Arab Saudi. Matanya pun merah karena dicolok oleh majikannya.

”Saya lupa namanya. Dia dari Karawang. Baru satu minggu kerja sudah mendapat kekerasan dan dipulangkan. Ia tidak punya bekal uang sama sekali. Cuma bawa tas kecil berisi dua potong pakaian. Ia diam terus, tidak banyak bicara. Kasihan sekali,” tutur Adiati.

Selain itu, ada pula seorang TKW yang perutnya mengalami pendarahan. Namanya Ipah. Ia sebenarnya sudah memiliki janji dengan seorang dokter di Jakarta untuk operasi pengambilan kista di perutnya pada hari Senin (8/11/2010). Adiati yang mendampingi Ipah selama bermalam di hotel menceritakan, Ipah terus berbaring selama menunggu kepastian terbang.

”Tidak ada satu pun anggota Dewan yang terhormat itu menaruh perhatian pada nasib dua TKW ini. Mereka pasti tidak tahu karena memang tidak pernah mau tahu,” ucap Adiati kesal.

Bapak, kan anggota DPR

Esoknya, Minggu (7/11/2010), ”relawan” Indonesia dan para TKW melakukan ”konsolidasi” di lobi hotel. ”Kami mendata kembali satu per satu teman-teman TKW. Kami mengingatkan agar masing-masing jangan bergerak sendiri dan memisahkan diri supaya mudah melakukan koordinasi jika ada pengumuman kapan pesawat ke Jakarta akan terbang,” ungkap Riny.

Ia menuturkan, saat para ”relawan” sibuk mendata para TKW, seorang lelaki tampak berdiri menonton. ”Spontan saya bilang ke dia, Pak, mestinya Bapak yang ngurusin para pahlawan devisa ini, kan Bapak anggota DPR. Ini di depan mata Bapak jelas-jelas ada rakyat Bapak yang kesusahan, kasihan, kan,” kata Riny.

”Maaf, Bu. Saya bukan anggota DPR, tetapi terima kasih banyak ya, Ibu dan teman-teman sudah menolong mereka,” kata lelaki itu seperti ditirukan Riny. Ia mengetahui kemudian, lelaki itu adalah petugas agen travel yang mengurus perjalanan rombongan anggota DPR.

Menurut Rini, lelaki itu kemudian membalikkan punggung, bergabung dengan rombongan anggota DPR yang duduk tidak jauh dari situ. Beberapa orang dari mereka, kata Rini, sempat menoleh saat ia berbicara dengan lelaki dari agen travel tersebut karena berbicara dengan suara lantang. ”Mereka, ya enggak ikut membantu tuh, habis itu malah keluar menuju mobil sewaan,” ungkap Rini.

“Ngapain” cari duit ke luar negeri

Sementara itu, salah seorang TKW, Diah, punya pengalaman yang menurutnya tidak mengenakkan saat ia mencoba menyapa satu-satunya perempuan anggota Dewan dalam rombongan tersebut. Ia bertanya kepada perempuan itu apakah sudah ada informasi kapan pesawat akan terbang menuju Jakarta.

”Eh, bukannya menjawab, ibu itu malah balik bertanya ke saya dengan ketus, ngapain cari duit ke luar negeri, di dalam aja banyak kok. Saya kaget, kok ditanya baik-baik malah ngomong ketus banget. Saya bilang aja kalo saya emang orang miskin, cari duit ke mana aja yang penting halal,” terang Diah saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/11/2010).

Diah pun langsung melengos pergi. ”Di mata orang DPR, TKW itu enggak ada harganya. Ya, memang beginilah nasib kami, selalu dianggap menyusahkan di negeri sendiri,” katanya.

Diah sudah empat tahun bekerja untuk sebuah keluarga di Madinah, Arab Saudi. Ia bersyukur mendapat majikan yang baik. ”Saya cuti pulang kampung selama dua bulan untuk nengok anak. Majikan saya sayang sama saya. Dia malah nangis nganter saya pulang, minta saya cepet balik lagi ke Madinah,” katanya.

Mereka pulang duluan

Selanjutnya, Minggu sore, seperti diceritakan Agus Safari, mereka mendapat kabar bahwa pesawat akan berangkat pada pukul 01.00 waktu Dubai (Senin, 8/11/2010). Kembali terjadi kegaduhan.

”Tidak mudah mengatur seratusan orang. Para TKW itu tersebar. Pelan-pelan kami mengumpulkan mereka di lobi. Tidak semua dapat terangkut oleh bus yang disediakan. Jadi kami berangkat secara bertahap menuju bandara,” ujar Agus.

Saat itu, Agus merasa heran sebab hingga di bandara ia tidak melihat seorang pun rombongan DPR. ”Rupanya mereka sudah pulang duluan naik penerbangan pukul 20.00. Luar biasa tuan-tuan yang terhormat itu, mereka ngeloyor pergi duluan tanpa sedikit pun mengindahkan rakyatnya yang kelabakan ini,” kata dia.

Studi banding rumah susun

Menurut catatan Kompas.com, anggota DPR yang pergi ke Rusia adalah rombongan Komisi V yang tengah melakukan studi banding terkait RUU Rumah Susun. Selain ke Rusia, Komisi V juga melakukan studi banding yang sama ke Italia.

Informasi yang dihimpun Kompas.com, anggota rombongan studi banding rumah susun adalah Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Muhidin Mohamad Said (Fraksi Partai Golkar), Roestanto Wahid (Fraksi Partai Demokrat), Usmawarnie Peter (Fraksi Partai Demokrat), Sutarip Tulis Widodo (Fraksi Partai Demokrat), Zulkifli Anwar (Fraksi Partai Demokrat), Riswan Tony (Fraksi Partai Golkar), Eko Sarjono Putro (Fraksi Partai Golkar), Roem Kono (Fraksi Partai Golkar), Irvansyah (Fraksi PDI-P), Sadarestuwati (Fraksi PDI-P), Chairul Anwar (Fraksi PKS), Ahmad Bakri (Fraksi PAN), Epyardi Asda (Fraksi PPP), Imam Nahrawi (Fraksi PKB), dan Gunadi Ibrahim (Fraksi Partai Gerindra).

Ternyata Bukan Hanya Majikan Di Arab Saudi Yang Kejam Terhadap TKW Tetapi Juga Anggota DPR Indonesia


Cerita pilu Sumiati, tenaga kerja wanita yang disiksa majikannya di Arab Saudi, menghias halaman pemberitaan media beberapa hari ini. Sikap abai ternyata bukan hanya milik para majikan yang kejam di negeri orang. Para wakil rakyat, yang menjadi anggota parlemen karena dipilih oleh rakyat, pun menunjukkan sikap abai saat rakyat yang memilihnya tengah kelimpungan di negeri seberang.

Rombongan Anggota DPR yang tengah melakukan kunjungan kerja ke Moskwa, Rusia, dilaporkan ”menelantarkan” seratusan lebih tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang tengah kebingungan di Dubai. Di antara para TKW itu ada yang kedua tangannya melepuh karena disiram air keras oleh majikannya di Arab Saudi. Sementara, satu orang TKW lainnya mengalami pendarahan di perut.

”Mereka egois sekali. Tidak ada satu pun yang peduli dengan nasib rakyat yang mereka wakili yang tengah kebingungan. Mereka menelantarkan para TKW di Dubai,” tutur Adiati Kristiarini, seorang warga Indonesia yang mendampingi para TKW, dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Ia menceritakan, peristiwa itu terjadi pada Sabtu (6/11/2010). Ia bersama suaminya transit di Bandara Dubai dalam penerbangan New York-Jakarta. Di Gate 206 Bandara Dubai, mereka menunggu keberangkatan Pesawat Emirates dengan nomor penerbangan EK 358 tujuan Jakarta yang dijadwalkan berangkat pukul 10.25 waktu setempat.

Di situ, menunggu pula rombongan TKW yang jumlahnya ia perkirakan sekitar 150 orang. Adiati mengetahui kemudian, ternyata para TKW itu tidak saling kenal dan tidak pergi dalam satu koordinasi kelompok rombongan. Secara kebetulan saja mereka bertemu di bandara. Ada juga rombongan anggota DPR yang hendak pulang seusai melakukan studi banding ke Rusia.

Kebingungan

Sekitar 30 menit menunggu, tutur Adiati, ada pengumuman bahwa penerbangan ke Jakarta dibatalkan karena lalu lintas udara Indonesia tidak aman akibat letusan Gunung Merapi. Oleh Emirates, para penumpang diarahkan menuju hotel. Dari sinilah kepanikan dan kericuhan dimulai. Para TKW itu bingung. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, sementara petugas Emirates dirasa kurang informatif.

Menurut Adiati, sebelum tiba di Hotel yang terletak di luar bandara, mereka harus melewati sejumlah prosedur. Inilah yang membingungkan para TKW sebab banyak di antara mereka tidak bisa berbahasa Inggris. ”Para TKW itu adalah orang-orang sederhana dan lugu. Mereka kebingungan. Saya dan beberapa orang Indonesia lain lalu spontan saja berinisiatif membantu mereka,” ujar Adiati.

Inisiatif membantu para TKW yang jumlahnya seratusan ini ternyata dilakukan sporadis oleh sejumlah orang Indonesia yang ada di situ. Agus Safari, seorang peneliti yang juga transit di Dubai dari Rusia, menceritakan dalam e-mail-nya kepada Kompas.com, prosedur dari bandara menuju hotel memang terasa berbelit.

Pertama, para penumpang harus antre untuk mendapatkan visa sponsorship. Setelah itu, mereka harus menjalani cek imigrasi. Seusai urusan imigrasi, mereka harus datang ke satu loket untuk mencap kartu visa. Kemudian, harus antre lagi untuk scan mata di satu sudut yang jaraknya cukup jauh dari counter cap.

Sejumlah orang Indonesia, tutur Agus, secara spontan pontang-panting mencoba mengarahkan para TKW yang kebingungan. Suasananya sangat riuh. Di tengah keriuhan, menurut Agus, rombongan anggota Dewan terlihat duduk berkelompok di sudut ruang tunggu, sementara kartu visa mereka dikerjakan oleh agen tur mereka. Agus mengenali mereka sebagai anggota DPR sebab ia satu pesawat dalam penerbangan dari Rusia. Temannya di Kedutaan Besar Rusia memberi tahu Agus soal rombongan ini.

Tidak tergerak

”Saya heran, kok mereka tidak tergerak ya mengatasi rakyat yang memilih mereka sedang panik dan bingung. Mereka hanya tertawa-tawa dan ngobrol, dan saya sempat mendengar celetukan mereka saat saya sedang mengarahkan para TKW ini, ’ya, kita bermalam di Dubai ini sekalian saja untuk menghabiskan sisa rubel (mata uang Rusia)’. Masya Allah…,” cerita Agus.

Di antara orang Indonesia yang spontan membantu para TKW ada juga Riny Konig. Ia juga transit di Dubai dalam penerbangan dari Swiss. Menurut Riny, karena kesulitan komunikasi, para TKW ini banyak yang dibentak-bentak oleh petugas bandara.

”Di sebelah saya ada orang-orang Indonesia dengan paspor biru. Mereka diam saja melihat para TKW dibentak-bentak. Kok, ya enggak ada hati orang-orang ini,” tutur Riny saat berbincang dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu, dengan nada jengkel.

Adiati, Agus, dan Riny mulanya tidak saling kenal. Mereka dipertemukan oleh spontanitas menolong para TKW yang kebingungan. Ada sejumlah orang Indonesia lainnya yang juga spontan membantu secara sporadis. ”Hanya faktor rasa kebangsaan dan kemanusiaanlah yang membuat kami berbuat,” kata Agus.

Kebakaran Besar Di Gandaria dan Klender Karena Charger Ponsel


Dua peristiwa kebakaran terjadi di permukiman padat penduduk pada Sabtu (20/11) di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa yang diduga karena korsleting itu, tetapi sedikitnya 50 rumah habis terbakar dan rusak.

Kebakaran pertama terjadi pada Sabtu dini hari sekitar pukul 01.00 di Jalan Karya VI RT 9 RW 3 Kelurahan Gandaria Utara, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebanyak tujuh rumah habis terbakar dan tiga rumah rusak atapnya karena tersambar api dan terinjak kaki warga yang berupaya memadamkan api.

Berkat kerja keras warga, dalam waktu sekitar satu jam api berhasil dikuasai sehingga tak sampai meluas. Tak kurang dari 10 mobil pemadam kebakaran yang datang ke lokasi membantu memadamkan bara agar api tak menyala lagi.

Sementara kebakaran di RT 1 RW 2 Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, terjadi sekitar pukul 15.00. Margiyanto, Operator Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Timur, menyatakan, dirinya menerima telepon berisi kabar ada kebakaran itu pada sekitar pukul 15.30.

Padatnya permukiman, kencangnya tiupan angin, dan kesulitan air membuat petugas yang mengawaki 23 mobil pemadam kebakaran perlu waktu lama untuk memastikan api benar-benar sudah padam.

”Api dinyatakan padam pukul 18.05, tetapi sampai sekarang petugas kami masih di sana untuk memastikan tidak ada bara yang menyala lagi,” ujar Margiyanto.

Dari kejadian itu, sedikitnya 40 rumah yang sebagian adalah rumah petak habis terbakar. Kebakaran di sana diduga karena korsleting listrik yang terjadi di rumah kontrakan Ali. Polisi masih mengusut peristiwa itu.

Mengisi baterai telepon

Kebakaran di Gandaria, Jakarta Selatan, juga diduga karena korsleting di rumah Jamal yang berada di lantai dua di kawasan itu. Jamal, yang kemarin ditemui di tempat kejadian, mengakuinya. ”Kemungkinan dari handphone yang saya charge di kamar depan. Sebelum ada api, saya baru mulai tertidur ketika mendengar suara ’tak’ agak keras,” ucapnya.

Sekitar setengah jam sebelum kejadian, lelaki yang menjadi teknisi barang elektronik, termasuk telepon seluler itu, memang mengisi batu baterai telepon seluler jenis CDMA. setelah itu ia tidur-tiduran di kamar tengah. Posisi telepon yang sedang di-charge berada di samping kasur busa.

Begitu mendengar suara seperti lemparan sebuah benda di kamar depan, Jamal tak memeriksanya, tetapi tetap berbaring. Beberapa menit kemudian, Jamal kaget saat melihat eternit di kamarnya sudah dilahap api.

”Langsung saya lari,” kata lelaki yang tinggal berdua dengan adiknya itu.

Jamal menduga, percikan api dari listrik yang korsleting menyambar kasur busa sehingga dengan cepat membakar rumahnya yang sebagian besar terbuat dari kayu. ”Atap dan lantai rumah saya terbuat dari kayu, jadi mudah sekali terbakar,” kata Jamal berterus terang.

Munirik (45), salah seorang pemilik rumah yang terbakar, menjelaskan, saat kebakaran terjadi ia belum tidur. ”Tadinya saya kira ada ramai-ramai karena anak muda yang biasa kumpul- kumpul di depan rumah saya ada yang ribut. Enggak tahunya ada api yang sudah besar,” katanya.

Munirik

kaget sehingga hanya bisa membangunkan istri dan tiga anaknya serta mengambil dompet, telepon seluler, dan dua lembar ijazah milik anaknya yang kebetulan terletak di meja.

Para korban kebakaran di dua tempat itu terpaksa mengungsi di rumah tetangga yang rumahnya selamat dari amukan api. Sebagian warga Gandaria Utara ada yang tidur di rumah kontrakan milik warga yang dijadikan posko kebakaran.

Di sana terdapat beberapa karung beras, mi instan, dan telur untuk dimasak. ”Sebagian bantuan datang dari Kelurahan Gandaria. Tadi Pak Lurah juga datang ke sini pagi-pagi sambil membawa nasi bungkus,” kata seorang warga.

Ny Pon bersama ibu rumah tangga di kawasan yang terbakar sejak siang sudah memasak nasi, lalu dibungkus, untuk para korban kebakaran yang tak sempat membawa baju ganti dan harta lainnya. Warga juga berinisiatif membuka kotak sumbangan untuk para korban

Penipu Berkedok Dermawan Yang Memanfaatkan Sifat Orang yang Suka Orang Kaya


Nasib Ardiansyah (25), warga Poncol, Semarang Utara, berakhir di tangan polisi. Awalnya dengan wajah memelas dan diplomasi tingkat tinggi, ia berhasil meyakinkan Mashudi (30), warga Desa Nglojo, Sarang, Rembang. Keduanya bertemu di Lamongan saat mereka sama-sama dalam perjalanan pulang dari Surabaya.

Dalam perjalanan itu, Ardiansyah mengaku baru saja kecopetan sehingga seluruh uangnya ludes. Lantaran kasihan, Mashudi mengajak Ardiansyah ke rumahnya di Desa Nglojo. Secara kebetulan peristiwa itu berlangsung menjelang perayaan Idul Adha, Rabu (17/11).

Kantor berita Antara, Jumat (19/11), melaporkan, Ardiansyah yang mengaku anak orang kaya kemudian memesan empat ekor sapi kurban kepada empat warga Nglojo, yakni Mashudi, Abdullah, Mas’ud, dan Sukron. ”Empat sapi sudah disembelih untuk kurban,” tutur Mashudi. Empat ekor sapi itu telah pula diserahkan kepada warga Desa Nglojo, sebuah pesantren di Mojokerto, Jatim, dan sebuah pesantren di Desa Nglojo. Seluruh sapi yang konon dibeli Ardiansyah senilai Rp 25 juta.

Aksi tipu Ardiansyah terbongkar ketika empat pemilik sapi mulai menagih. Dan Ardiansyah, yang mengaku anak orang kaya itu, tidak bisa segera membayar.

Kapolres Rembang Ajun Komisaris Besar Kukuh Kalis Susilo mengatakan, modus penipuan seperti ini telah beberapa kali dilakukan Ardiansyah di Batam dan Sumatera Utara. ”Dengan mengaku sebagai anak orang kaya, akan banyak orang meminjamkan uang,” kata Kukuh. Jadi, kedermawanan Ardiansyah dengan membagi-bagikan daging kurban hanyalah kedok awal untuk melakukan penipuan berikutnya.

Rusa dan Bisbul Di Taman Flora Surabaya


Di luar pagar Taman Flora Surabaya, mobil dan sepeda motor berebut jalan. Di dalam taman, Murti Ningsih (67) dan cucunya, Nayla (3), merendam kaki di kolam sembari memandangi puluhan ikan koi. Kerindangan aneka jenis pohon meneduhi nenek dan cucu pengunjung setia taman seluas 33.810 meter persegi di kawasan Bratang, Surabaya, itu.

Saefuddin (35), warga Sidoarjo, juga mengaku sering kali melepas lelah di Taman Flora. Rabu (3/11) siang, ia datang bersama anak dan istrinya. ”Pengin rekreasi murah sekalian melepas lelah,” katanya.

Yuni, karyawan kantor pengelola taman, menuturkan, Taman Flora merupakan pusat konservasi tanaman langka di tengah kota Surabaya. Di taman itu antara lain ditanam 10 batang bisbul (Diospyros blancoi). Lebih dari 100 jenis pohon ditanam di taman itu. ”Bibitnya dipakai untuk taman-taman lain di Surabaya,” tuturnya.

Taman yang juga dikenal sebagai Kebun Bibit Bratang itu punya koleksi delapan rusa tutul (Axis axis) dan delapan rusa bawean (Axis kuhlii) di sisi utara taman. Ada pula aneka jenis burung di dekat kandang rusa-rusa itu. Selain puluhan ekor koi di kolam tempat Murti menceburkan kaki.

Di sudut utara ada fasilitas untuk outbond. Hampir setiap hari fasilitas itu dipakai anak-anak dari berbagai sekolah. ”Semua gratis, asal memberi tahu akan memakai saja. Pemberitahuan untuk memastikan tidak ada kelompok lain memakai fasilitas itu,” ujar Yuni.

Sementara di sudut selatan yang juga diteduhi pohon rindang terdapat beberapa jenis mainan anak-anak. Bergeser ke tengah sedikit ada ruangan latihan komputer dan internet, ruangan baca, dan panggung terbuka. Seperti fasilitas outbond, fasilitas lain di taman itu gratis atau tanpa biaya pemakaian. Parkir di taman itu juga tidak dipungut biaya.

Kesejukan bukan satu-satunya alasan taman itu menarik sebagai tempat bersantai. Di seluruh area taman bisa ada koneksi internet tanpa kabel. Jika punya komputer jinjing dan ingin mengakses internet tanpa bayar, taman itu bisa jadi salah satu pilihan. Berbagai tempat duduk yang diteduhi kerindangan pohon bisa dipilih untuk tempat mengakses internet.

Jangan khawatir dengan kenyamanan dan keamanan. Soal kenyamanan, hampir tidak ada pedagang asongan atau pengamen yang mendekati pengunjung taman. Pedagang ditempatkan di luar pagar taman. Kalau berjualan di dalam taman, mereka hanya boleh menggelar dagangan di pinggir taman.

Taman ini menjelma menjadi paru-paru kota, yang seolah mendaur ulang udara yang tercemar akibat sesaknya kendaraan. Oleh sebab itu, pihak Pemerintah Kota Surabaya ”mati-matian” mempertahankan situs ini dari kepemilikan pihak swasta, yang sebelumnya mendapatkan konsesi pengelolaan dari wali kota sebelumnya. Warga kota juga tidak ingin rusa dan bisbul punah jika taman ini berubah kepemilikan.

Kisah Jembatan Merah Berpagar Gedung Tua Di Surabaya


Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau dikenal Internatio masih berdiri di barat Jembatan Merah, Surabaya. Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij berdiri di timur jembatan atau di Jalan Kembang Jepun. Persis seperti digambarkan Remy Sylado dalam novel ”Kembang Jepun”.

Bedanya, pada Rabu (3/11) siang, Internatio berdiri muram terkepung pedagang kaki lima (PKL), angkot, dan becak. Tak ada aktivitas dalam gedung tempat pemimpin pasukan sekutu Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas pada 31 Oktober 1945 itu. Kematian itu memicu peristiwa 10 November 1945. Gedung itu kini dipagar seng dan sudah bertahun-tahun sama sekali tidak ada kegiatan di dalamnya. Ia bahkan menjelma menjadi gedung tua walau secara arsitektural masih tampak menawan.

Sementara Kantor Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij tetap beroperasi sebagai bank. Tentu dengan nama baru, Bank Mandiri, nama keempat sejak bank itu beroperasi di Indonesia pada 1857. Pada tahun 1958, bank itu berganti nama menjadi PT Escomptobank. Kemudian namanya berubah menjadi Bank Dagang Negara pada April 1960. Selanjutnya bersama Bank Exim, Bapindo, dan Bank Bumi Daya (BBD), BDN dilebur menjadi Bank Mandiri.

Tentu tidak semua gedung di sekitar jembatan merah masih berdiri. Tepat di utara jembatan pernah berdiri kantor Residen Surabaya. Sekarang, sama sekali tidak ada bekas kantor itu. Lahan bekas kantor itu termasuk halaman Jembatan Merah Plaza, salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya.

Kawasan ini sesungguhnya menjadi identitas ”baru” kota Surabaya, setelah bergerak dari zaman Majapahit, Mataram, lalu masa pemerintahan kolonial. Sebab dari Jembatan Merah inilah meluncur ucapan Surabaya sebagai kota pahlawan. Muhammad Subur (78), seorang tukang becak yang setiap hari mangkal di Jembatan Merah bisa dengan antusias bercerita soal Surabaya tempo dulu. Bahkan, ia mengatakan ikut bertempur melawan pasukan sekutu pada 10 November 1945.

Pemerintahan

Hingga 1905, kantor Residen Surabaya menjadi pusat pemerintahan Surabaya. Pembangunan terus berkembang di sekitar kawasan yang dulu disebut Willem Plein itu. Apalagi, sebelum pelabuhan Tanjung Perak selesai dibangun pada 1910, kapal layar bersandar di sekitar jembatan merah sekarang.

Di barat Jembatan Merah, seperti Jalan Jembatan Merah (dulu disebut Willenstraat) dan Jalan Rajawali (Heerenstraat), dipenuhi pedagang besar Eropa. Maskapai dan bank-bank kebanyakan berada di wilayah ini. Sebagian besar gedung masih digunakan aneka perusahaan dan keasliannya relatif terjaga.

Sementara kawasan timur jembatan diperuntukkan bagi warga Asia, seperti Tionghoa, Arab, dan Melayu. Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo, mencatat masyarakat China sebagai golongan yang sangat penting di Surabaya. Pada awalnya mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Chinese Kamps atau Kampung Cina, di sebelah timur Kali Mas. Jalan-jalan yang didiami warga Tionghoa itu antara lain Chinesevorstraat atau kini Jalan Karet, dan Hendelstraat atau kini dikenal Kembang Jepun.

Kini sebagian gedung di Jalan Karet tidak difungsikan dan tampak berdebu dalam bentuk aslinya. Sementara sebagian lagi berfungsi sebagai gudang atau aneka kantor. Sayang gedung itu sudah berganti rupa menjadi ruko. Pergantian rupa juga terlihat di Jalan Kembang Jepun bagian timur.

Bukti bahwa kawasan ini pernah menjadi kawasan kebanggaan, tidak saja karena menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga karena heroisme arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan mengorbankan darah, pencipta lagu Gesang pun melukiskannya dengan lirik, ”Jembatan Merah, sungguh gagah, berpagar gedung indah. Sepanjang hari, yang melintasi, silih berganti….”

Dijaga

Pengamat perkotaan, Johan Silas, yang turut serta merumuskan pedoman pembangunan kota Surabaya sejak tahun 1965 mengatakan, kawasan Jembatan Merah sejak semula ”disisihkan” dalam pengembangan kota. ”Kawasan itu tetap kita perlakukan sebagai kawasan preservasi. Tidak boleh diapa-apakan dulu….” ujar Silas.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pun menuturkan bahwa ia sungguh berhati-hati di dalam pengelolaan kawasan tua, seperti Jembatan Merah. Pihaknya sedang membangun Taman Jayengrono untuk mempercantik kawasan. ”Kita bangun taman agar kawasan itu juga hidup, tidak berkesan kusam,” tutur Tri Rismaharini.

Tri juga berencana membuat subterminal untuk menampung angkutan umum yang sekarang meluber di jalanan, tepat di sisi Gedung Internatio. ”Semua harus pelan-pelan karena menyangkut kepentingan banyak orang,” katanya.

Dalam kondisi demikian, pemerhati cagar budaya Freddy H Istanto menilai data tidak terwujud (intangible) yang dipendam kawasan Jembatan Merah harus tetap dilestarikan. Data itu berupa semangat kesetiaan, keberanian, dan kegagahan yang kemudian menjadi identitas kota.

Jembatan Merah boleh tua dan dipagari gedung-gedung tua, tetapi kawasan ini telah turut andil membangun citra Surabaya dalam pentas internasional: heroisme!

Suami Istri Gayus Halomoan Tambunan dan Milana Anggraeni Kompak Melakukan Tindakan Kriminal


Istri terdakwa Gayus Halomoan Tambunan, Milana Anggraeni, sempat disuruh Gayus untuk melenyapkan wig, kacamata, dan dokumen-dokumen palsu, yang digunakan suaminya itu di Bali. Menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Komisaris Besar Marwoto Soeto, keterangan itu disampaikan Gayus saat diperiksa penyidik. “Milana kemudian melaksanakan apa yang disuruh Gayus,” kata Marwoto di kantornya, Jumat (19/11).

Polisi, kata Marwoto, lantas menanyakan hal tersebut kepada Milana dalam pemeriksaan terpisah. “Istrinya mengakui hal tersebut,” kata Marwoto.

Saat diperiksa, Milana mengaku bahwa Gayus pulang ke rumah dari Rumah Tahanan Brimob pada 3 November. Sehari kemudian, pada 4 November, bersama Gayus dan putranya, Gagah Gattuso Tambunan, ia berangkat ke Bali.

Selama pelesiran itu, Gayus menggunakan nama samaran Sony Laksono. Ketika tertangkap kamera wartawan yang meliput turnamen tenis di Pulau Dewata itu, Gayus menggunakan wig dan kacamata untuk mengelabui orang-orang.

Menurut Marwoto, perbuatan Milana bisa dikategorikan turut serta melakukan tindak pidana yang dilakukan suaminya. Milana juga bisa dikenai pasal menghilangkan barang bukti. “Tapi itu tergantung penyidiknya mau menjerat dia atau tidak,” katanya.

Hari ini Milana kembali dijadwalkan diperiksa penyidik Badan Reserse Kriminal. Tapi, hingga sore ini, Marwoto mengaku belum mengetahui Milana memenuhi panggilan atau mangkir.

Gayus Tambunan Disuap 3 Juta Dollar Untuk Memanipulasi Pajak Group Bakrie


Indonesia Corruption Watch memaparkan modus Gayus Halomoan Tambunan dalam mengurangi pajak Bumi Resource, Arutmin dan Kaltim Prima Coal. “Modus pertama, Gayus memanfaatkan perbedaan kurs untuk menurunkan kewajiban pajak Kaltim Prima Coal,” kata Ketua Divisi Monitoring Analisa Anggaran Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas dalam keterangan di kantornya, Jumat (19/11)

Pajak Kaltim Prima Coal pada 2002-2005 yang dihitung dari penjualan batubara dalam rupiah disamakan dengan pajak 2006-2009 yang diambil dari penjualan batubara dalam dolar. Akibatnya negara kehilangan potensi pajak 2002-2005 US $ 164,62 juta.

Modus kedua, kata Firdaus, adalah permainan harga rata-rata tertimbang (WAP) batubara. Laporan Keuangan Bumi Resource sejak 2004-2009 menunjukkan harga WAP batubara lebih rendah dari seharusnya. Akibatnya potensi Dana Hasil Penjualan Batubara yang harus diterima negara dari Bumi Resource senilai US$ 255,05 juta menguap .

Kemudian, yang terakhir, papar Firdaus, adalah penyajian pendapatan Kaltim Prima Coal dan Arutmin pada 2004-2006 yang disajikan lebih rendah sehingga negara kehilangan potensi pendapatan pajak menjadi US $ 184,10 juta.

Dalam persidangan, Gayus mengaku menerima US $ 3 juta dari pengelolaan Bumi Resource Groups. Komposisi US $ 500 ribu dari mengurus Surat Ketetapan Pajak Kaltim Prima Coal pada 2001-2005. Lalu US $ 500 ribu dari banding pajak Bumi Resource dan US $ 2 juta dari pembetulan Surat Pajak Tahunan Bumi Resource, Kaltim Prima.

Menurut Firdaus, meski Grup Bakrie mengaku laporan keuangannya sudah lewat audit publik, pengusutan bisa dilakukan dari laporan keuangan dan dasar perhitungan di pengadilan pajak (baik dari keberatan wajib pajak maupun direktorat jenderal pajak). “Sangat mungkin kantor akuntan publik bagian dari muslihat korporasi juga,” ungkapnya.

Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, kata Firdaus, sudah menerima laporan pajak PT. Bumi Resource, PT. Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin. “Kita tunggu saja hasil dari kepolisian,” ujarnya.

Kamar Seks, Ruang AC, Makan Enak dan Parabola Perlu Diadakan Di Penjara Segera


Pengamat hukum dari Universitas Sumatera Utara Dr Pedastaren Tarigan SH mengatakan, pembangunan kamar seksual di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara perlu diadakan untuk digunakan bagi warga binaan yang ingin melakukan hubungan biologis.

“Kamar tersebut dapat secepatnya direalisasikan, mengingat warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang ada di lapas) dan rutan, juga manusia yang memerlukan hubungan biologis itu,” katanya di Medan, Jumat.

Hal tersebut ditegaskannya mengomentari Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang kurang setuju didirikannya ruangan seksual di lapas maupun rutan karena akan dijadikan bisnis.

Padahal, Wakil Ketua DPR Bidang Hukum, Priyo Budi Santoso menyetujui Kementerian Hukum dan HAM membangun kamar seks tersebut untuk penyaluran hasrat biologis para narapidana (napi) itu.

Pedastaren mengatakan, warga binaan atau napi yang sedang menjalani hukuman itu juga manusia, perlu diperhatikan hasrat biologis mereka.

Dengan demikian, menurut dia, warga binaan tersebut tetap dalam keadaan sehat baik itu fisik maupun pikirannya.

“Napi yang berada di Lapas dan Rutan itu juga bisa mengalami gangguan kesehatan karena tidak pernah lagi melakukan hubungan biologis,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

Oleh karena itu, jelasnya, banyaknya napi mengalami sakit, diduga peyebabnya jarang berhubungan biologis.

“Wajar napi melakukan hal itu, mereka juga manusia yang normal.Kegiatan tersebut tentunya sangat baik untuk kesehatan bagi manusia,” kata Pedastaren.

Jangan pula, karena napi tersebut menjalani hukuman, tidak bisa melakukan hubungan biologis, ini juga menyangkut kemanusian.

Selanjutnya ia mengatakan, dengan adanya kamar khusus tersebut, tentunya juga perlu dibatasi dan pengawasan yang ekstra ketat dari petusas institusi hukum itu.

Tentunya, warga binaan yang melakukan hubungan biologis itu telah bersuami isteri.Lain dari itu tidak dibenarkan.

“Ini harus ada pengaturan yang jelas, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan tempat tersebut atau dibisniskan pula oleh oknum petugas,” ujarnya.

Pedastaren mengatakan, pendirian bangunan tersebut jangan sampai menimbulkan kesan negatif atau terjadi hal-hal yang tidak diingini, sehingga mencoreng nama baik Kementerian Hukum dan HAM.

“Kementerian Hukum dan HAM harus benar-benar mengawasi ketat, sehingga tidak terjadi penyimpangan atau adanya oknum petugas yang sengaja mencari keuntungan.Ini harus dapat dicegah,” kata Pedastaren.