Untuk Meraih Kekuasaan Maka Agamapun Dijual Murah


Tayangan film porno yang secara tidak sengaja muncul di layar Megatron di Kota Tasikmalaya menghebohkan masyarakat. Namun, sebenarnya, di Kabupaten Tasikmalaya ada yang tak kalah vulgar dari kasus Megatron itu, yakni membawa terminologi agama dan keterlibatan ulama dalam politik praktis menjelang pemilihan bupati-wakil bupati.

Hampir semua pasangan calon bupati-wakil bupati yang menjadi peserta dalam pilkada mencantumkan istilah agama dalam alat peraga kampanyenya. Penulisan istilah tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan kata aslinya karena dilafalkan dengan lidah orang Sunda.

Pasangan Subarna-Dede T Widarsih yang diusung Partai Golkar, misalnya, mengusung istilah ”Sahadat”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syahadat berarti persaksian dan ikrar yang diucapkan lisan dan dibenarkan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah.

Kemudian, ada lagi kata ”Haji” yang menjadi ciri khas pasangan Endang Hidayat-Asep Achmad Djaelani yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera.

Haji adalah rukun Islam kelima (kewajiban ibadah) yang harus dilakukan oleh umat Islam yang mampu dengan me- ngunjungi Kabah pada bulan Haji dan mengerjakan amalan haji, seperti tawaf, sai, dan wukuf.

Ada juga ”Adan” yang dipakai dalam spanduk dan baliho pasangan Achmad Saleh Kartamiharja-Ucu Asep Dani dari Partai Demokrat serta 11 partai lain. Kemungkinan kata ini juga mengacu pada kata azan, yakni seruan untuk mengajak orang shalat.

Tak mendidik

Penggunaan istilah-istilah agama, kata seniman asal Cipasung, Singaparna Acep Zamzam Noor, tidak mendidik, bahkan cenderung manipulatif. ”Calon bupati-wakil bupati cenderung berlomba-lomba menampilkan kesan agamis, baik, melalui penampilan, kata-kata dalam kampanye, termasuk melibatkan ulama sebagai alat legitimasi,” tuturnya.

Warga yang sadar tentu miris melihat terminologi agama yang sakral dijadikan jualan dalam politik praktis. Namun, bagi sebagian besar masyarakat di daerah, apalagi dengan tingkat pendidikan rendah, istilah-istilah dalam agama sangat ampuh menarik dukungan.

Menurut Acep, tim sukses calon tidak sadar, agama adalah inti. Menggunakan istilah dalam agama yang sakral dalam konteks pilkada justru menjadikan agama sebagai sesuatu yang artifisial. ”Mending kalau figur calon yang diusung sesuai dengan jargon agama yang ditampilkan. Lha kalau justru bertolak belakang bagaimana,” kata Acep.

”Masyarakat sebenarnya sudah muak melihat simbol-simbol agama dijadikan jualan dalam politik. Terhadap politisi dan pejabat, kami tidak percaya lagi,” kata Yusuf Kodir, warga Borolong, Singaparna, dengan tegas.

Leave a comment